Bermacam jati diri sempat Aku perankan, tanpa mengerti siapa Aku sebenarnya, yang pasti Aku hanya jadi aktor, yang dituntut bersikap karena tuntutan peran. Dari mulai menjadi seorang Sufi, Faqih, bahkan Filosof kacangan.
Sesekali Aku juga terus membohongi diri, untuk sekedar terlihat 'suci' di hadapan orang lain, tak jarang Aku memaksakan kehendak diri dan orang sekitar (keluarga) agar tampak perfect di permukaaan.
Aku tak pernah ambil pusing dengan urusan orang lain, yang kutahu hanya 'ikut apa kata kyai/habib'. Bagiku merekalah penuntunku (untuk mengganti posisi Nabi), terkadang menjelang tidurpun Aku selalu berharap akan (bisa) berjumpa dengan para guru adikdaya ini untuk sekedar mendengar wejangan semu. Semua yang Aku baca hanya sebuah imajinasi di hadapan mareka, bagiku keputusan mereka adalah sabda yang tak mungkin di langgar apalagi dikritisi.
Aku juga berusaha untuk tampil santun, sopan, dan berakhlak mulya, meskipun hal tersebut hanya dibuat-buat. Petuah para guru "awalnya budi pekerti itu dimulai dari berusaha (pura-pura) bersikap baik".
Sejatinya, Aku adalah mayat di hadapan para guruku. Inilah klimaks ajaran tasawuf yang pernah Aku terima.
Aku juga emoh mendengar kata 'doktrin', yang kutau bahwa, setiap perkataan guruku adalah kebenaran mutlak.
Fiqih, menurutku (waktu itu) jauh lebih tinggi tarafnya dibanding displin ilmu lainnya. Sebab fiqihlah yang akan mentranformasi sah-batalnya ibadah kita. Jadi, taklid madzhab adalah keniscayaan. Apalagi di era yang penuh dengan materialistik, dan jaman yang semakin hedonis ini. Mustahil rasanya, untuk menemukan seorang ulama yang kapabel untuk berijtihad. Pandangan seperti ini menjadikanku kaku dalam menilai tiap orang yang berani beda madzhab denganku. Toleransi beragama yang ditawarkan barat, Aku anggap sebuah kebohongan yang nyata.
Saat di Jakarta, Aku sempat habis-habisan mengkaji madzhab mutakallimin, dengan spesialisasi Asya'irah (madzhab Imam Asy'ari, wafat pada 324 H/ 936 M), Aku sempat mengklaim aliran ini sangat sempurna dan tak akan ada orang yang bisa beradu argument dengan tokoh-tokohnya. Selama hampir tujuh bulan, aku menyelami lautan ini, hingga kemudian Aku berprinsip; memperdalam fiqih hanya buang umur, sebab dalam fiqih kita hanya tau perbedan pendapat, yang sejatinya adalah rahmat bagi umat.
Boleh dibilang saat itu Aku telah menjadi Filosof Kacangan yang intens bersentuhan dengan 'kulit' diskursus Filsafat. Sebab diakui atau tidak, hampir semua sekte dalam Islam sudah terakultrasi oleh peradaban Yunani. Lebih tepatnya sih, Aku di sebut Asy'arian abies, dari mulai kitab Kifayatul Awam hingga Arbainnya Ar-Razi pernah Aku lumat habis. Aku juga sempat mengisi beberapa majelis taklim untuk mengenalkan orang-orang pada pemikiran-pemikiran madzhab.
Bahkan semua ayat (selain ayat ahkam) Aku 'larikan' tafsirannya ke dalam diskursus ketauhidan. Aku dengan lihai mempermainkan ayat-ayat Al-Qur'an untuk memperkokoh madzhab atau membabat habis Muktazilah, Jabariyah, dan Murjiah yang kebetulan menjadi lawan sengit Asya'iroh.
Pernah dalam konsep sifat Sama' dan Bashar, Aku membingungkan orang sekampung, saat itu Aku mencoba merefleksi 2 sifat ini dengan sangat mendetail. Tanpa perduli, apakah penyampaianku bisa diterima oleh orang kampung (yang otaknyapun kampungan) atau tidak.
Realitas sosial (saat itu) kabur bagiku, yang ada dalam benakku, adalah bagaimana menjadikan warga berfaham Asya'iroh dengan benar dan berlandaskan dalil. Sebab iman tanpa dalil, sama saja dengan orang buta, yang berjalan dengan bantuan tongkat. Kemungkinan terjatuh sangat besar.
Ringkasnya, taklid dalam keimanan, sangat membahayakan iman itu sendiri. Tapi disisi lain Aku tidak pernah bisa terima, jika ada orang berseberangan dengan madzhabku, meskipun hasil pencariannya didasari dalil yang kokoh, bukan hasil taklid semata. Sehingga terjadi dualisme dalam diriku.
Waktu membawaku melintasi benua nun jauh. Tiba-tiba saja aku telah berada di Negeri Ratu Bilqis sang permaisuri Nabi Sulaiman alaihissalam.
Ya. Itulah Negeri Yaman, Negeri yang digadang-gadang sebagai negerinya para wali. Kecenderungan tasawuf yang pernah Aku gumuli semasa di pesantren, membuatku begitu berhasrat untuk bisa mengenal tokoh-tokoh sufi dari kawasan Hadramaut lebih dekat.
Aku menjatuhkan pilihan di kawasan Hudaidah-Yaman Selatan, mengapa? Sebab aku pikir sudah terlalu banyak pelajar Indeonesia di Hadramaut. Aku tidak suka bila nantinya akan sering ngumpul dengan komunitas tersebut. Bisa-bisa malah bahasa indonesiaku yang tambah lancar, padahal aku belajar di negeri Arab, aneh rasanya.
Namun, cuaca di Hudaidah yang tidak bersahabat membuatku lemas tak berdaya. Aku pun memastikan diri keluar dari Hudaidah. Sisa waktu visa, aku gunakan untuk menyusuri situs-situs sejarah Negeri Ratu Bilqis.
Sempat aku terpesona dengan kota tua jajahan dinasti Abbasi. Zabid, begitulah orang memberi nama, dan Azzabidy , panggilan bagi warga kota tersebut. Konon sejumlah tokoh besar masa lalu sempat singgah, bahkan bermukim di sini, misalnya Al-Fairuz Abadi, Ibnu Al-Muqri, Syeikh Abdurrahman Addiba'i dan sederet nama yang tak asing lagi di nusantara.
Hingga akhirnya Takdir membawaku ke Negeri Seribu Mesjid, pusat pemikiran Islam, dengan universitas tertuannya Al-Azhar.
Dengan malu-malu aku mencoba berkenalan dengan universitas yang telah membidani lahirnya ribuan ulama masa lalu sampai masa kini. Karya-karya mereka dikaji di seluruh pelosok negeri, dari timur ke barat. Atheis, Fundamentalis, Liberalis, Orientalis dan is-is lainnya, tak ada yang sanggup berpaling dari peran Azhar.
Itulah sekilas tempat yang Aku sebut 'malu-malu' untuk bisa menjadi muridnya. Aku sangat berharap semoga Al-Azhar tidak pernah mencatat kehadiranku, tak pantas.
Di Mesir inilah, Aku bertekad hidup nyata, beriman dengan fakta, berfikir lebih terbuka, dan menjadi diri sendiri, tanpa intervensi, tanpa distorsi, tanpa basa-basi, apalagi ilusi. Pelajaran pertama, yang Aku terima adalah "tinggalkan asesoris madzhab, aliran, sekte dan golongan". Kedua jadikan Al-Qur'an prinsip hidupmu, bukan Tasawuf, bukan Fiqih, apalagi Tauhid. Semua harus berlutut di hadapan Al-Qur'an, jangan pernah lagi menginterpretasikan Al-Qur'an karena kepentingan. Ketiga ibadah sosial lebih penting daripada ibadah mahdhah.
Aku (masih) (akan) (terus) mencari. Dan terakhir bingkisan terima kasih, Aku hadiahkan bagi mereka yang telah mengisi lembaran-lembaran hidupku, terutama yang paling mempengaruhi perjalananku:
Ibuku, Abah (tiriku), Abuya Habib Hasan Baharun, putra beliau Ustad Zein Baharun, Syeikh 'privatku' Abah wok (Habib Abdullah al-Attos), kyai Asmawi Tegal. Dr. Ali Hasan Al-Bahr (dosen UIN Jakarta), dan kepada semua ulama' Azhar, yang melalui karyanya telah menyadarkanku………….
Al-Azhar ijinkan Aku menghirup harum nafasmu, entah dari mereka (ulama) yang telah memenjarakanmu dalam kejumudan, ataukah mereka yang telah memberimu kesan Rasionalis-Liberalis atau bahkan dari orang yang telah kamu beri, label murtad.
13 Oktober 2008 M/13 Syawal 1429 H
Tajamuk Khomis, New Cairo
Tags :
Refleksi
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
2 Comments
di lihatdari bahasanya sampean kaya orang lagi prustasi...ingat kang!!!Kata imam Sanusi WA la uddula anha illa huwA MINAL MAHRUMIIN.
Reply DeleteKUN ASY'ARIYYAN FI I'TIQOODIK.... Anda jangan terpengaruh da'i-da'i pendusta yang ngaku berpegang alqur;an,wal qur'an barii'un minhum.INgat bahayanya tamasuk bi dzohiril ayat.bisa kafir...
Terima kasih Kang, yang jelas sekarang ini Aku sedang berusaha mencari jati diri dan berusaha menjadi diri sendiri. Aku hanya mengingatkan: jangan bersembunyi di belakang teks2 suci untuk memperkokoh madzhabmu.
Reply DeleteMengenai Imam Al-Sanusi, beliau bukan Nabi yg Makshum dan tak punya otoritas untuk menghukumi seseorang dengan Kafir, Sesat, Bid'ah.
Imam Sanusi dgn prinsip 'haram taklidnya' telah menyalahi Jumhur, dan mempersulit umat, apa anda mau mengatakan: siapa saja yg taklid maka dia kafir?
Bila anda mau membaca sejarah, maka akan terlihat jelas bagaimana setiap sekte menjadikan teks2 AlQur'an sebagai tameng dari lawannya, AlQur'an serupa tepung di hadapan tukang roti.
Kita hidup di era keterbukaan dan toleransi, sudah bukan masanya kita mengaku yang paling benar dan menyalahkan orang lain karena beda madzhab.Biarlah masa lalu berdarah antar sekte Islam menjadi pelajaran, jangan lagi terulang. Salam...Aku tadinya mau berkunjung ke blogmu, tapi kok?