SELAMAT MEMBACA TULISAN SAYA, By Abdul Munim Cholil >>> Orang yang mencari "kecukupan duniawi" dengan cara mengumpulkan harta seperti memadamkan api dengan jerami (Bakr bin Abdullah), demikian statemen yang saya kutip dari kitab Ihya milik imam Al-Ghazali.

11/23/2008

thumbnail

Menelisik Arus Feminisme Di Tunis Dan Turki

Saat saya harus menulis tentang perempuan, maka yang terbayang dalam benak saya adalah sosok lemah tak berdaya dan selalu menjadi beban. Berbincang tentang problematika perempuan seakan tak pernah habis, selalu menarik untuk digosipkan layaknya dunia entertainment. Perempuan adalah salah satu komponen terciptanya sebuah tatanan kehidupan, perempuan adalah penyeimbang sebuah peradaban. Adalah kepincangan bila kaum hawa tak pernah dicipta, adalah kecacatan bila kita tak pernah membincangkannya.

Posisi perempuan dalam kehidupan tak dapat diabaikan begitu saja, tanpa kaum hawa, lelaki hanya “seekor burung” yang satu sayapnya patah. Dialah simbol kehormatan keluarga, dialah madrasah pertama bagi tiap generasi sebuah bangsa.


Sejarah tak pernah luput dari catatannya tentang kaum hawa, dari mulai sejarah Babilonia, Mesopotomia, Yunani, Persia, Romawi, hingga Islam, meski dengan porsi berbeda dan kapasitas yang tak sama. Tapi setidaknya catatan-catatan tadi bisa menjadi bukti adanya sebuah kepedulian.

Secara epistemologi apresiasi terhadap perempuan ini mencapai kesempurnaannya pada era Islam, dalam kitab suci al-Qur’an secara massif terungkap adanya sekian ayat yang terang-terangan mengindikasikan bahwa posisi kaum hawa sangat urgen, mulai dari hal terkecil yang melingkupi perempuan hingga urusan pahala dan balasan di akhirat. Yang kesemuanya memberikan pemahaman tentang “kesetaraan hak” dengan pria, atau biasa disebut “gender” dalam istilah kontemporer.

Sungguh apa yang dilegitimasi al-Qur’an merupakan sebuah sikap yang sangat prestisius. Sekedar meretas balik sejarah, bahwa pada masa pra-islam perempuan hanya terlanskap dalam seonggok daging pemuas nafsu, yang diperjual belikan di pasar Budak. Sebagian menilai perempuan itu lebih jahat dari iblis, bahkan sampai abad pertengahan, entitas perempuan masih diperdebatkan: apakah mereka layak untuk dikategorikan manusia atau tidak?, sungguh suatu penilaian yang sangat diskriminatif, dan tentunya menyedihkan bagi kaum hawa.

Apresiasi ajaran al-Qur’an terhadap eksistensi perempuan yang sedemikian tinggi ini, sedikit demi sedikit mulai melepuh dari para penganutnya, sehingga fakta sejarah seakan berbalik. Dulu Islam yang pernah disinyalir sebagai agama paling apresiatif terhadap kaum hawa, kini memudar seiring berjalannya waktu.

Bahkan di masa Dinasti Ustmani tercatat, ada puluhan koleksi perempuan-perempuan muda para Kahalifah yang mereka klaim sebagai budak. Mereka disekap di ujung-ujung lorong istana, dan dikoleksi secara massal di kamar-kamar istana, sebagai penghibur sang Khalifah dan pejabat-pejabat istana.

Setelah runtuhnya Dinasti Ustmani, bias-bias pelecehan ini masih terasa mencekik umat ini. Sehingga beberapa tokoh terpanggil untuk ikut andil dalam upaya mengembalikan perempuan pada posisi semula. Sebut saja Qasim Amin yang kemudian dipopulerkan sebagai bapak feminis modern, melalui karyanya “Tahrir al-Mar’ah”, Amin mencoba merefleksi kembali ide-ide pembebasan perempuan, yang dinilai pada masa itu terkekang kuat oleh kendali adat dan kultur, yang sejatinya bukanlah dari dogma-dogma al-Quran.

Semacam menjadi embrio bagi generasi penerusnya, ide-ide Qasim Amin hingga kini masih terus disegarkan oleh mereka yang menginginkan kesetaraan gender. Perlu dicatat bahwa dari para pejuang gender ini ada sebagian yang terkesan ugal-ugalan dan tanpa perhitungan tepat. Ada juga yang obyektif memperjuangkannya, meski tak menutup mata masih banyak juga yang apatis, hanya karena dianggap produk barat.

Perkembangan gerakan kaum feminis semakin hari semakin menunjukan identitasnya, keberadaan mereka juga tak dapat dikesampingkan atau dilihat sebelah mata, tuntutan pro-egaliterianisme ini semakin menggurita di berbagai belahan dunia. Hal ini sungguh menjadi tonggak perkembangan positif yang mestinya kita sambut dengan kemeriahan. Meski disayangkan jika kemudian muncul spekulan kelompok pembela gender yang kehadirannya terasa asing bagi sebuah tradisi lokal dan terkesan menelan mentah tiap wacana feminisme yang datang dari Barat.

Dalam sebuah berita yang dimuat disalah satu Koran lokal yang terbit di Tunisia (sebuah kawasan afrika yang mayoritas penduduknya muslim) pada 16/11/2008 lalu, terjadi sebuah kasus (yang mestinya tidak perlu terjadi bila disikapi dengan arif), bahwa menurut keputusan perundang-undangan Republik Tunisia: seorang perempuan muslimah diwajibkan melepas hijab (baca: jilbab) ketika berada di sekolah maupun kuliah.

Keputusan ini menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan, apalagi dengan alasan yang sama sekali tak logis, dimana pemerintah menilai bahwa tindakan ini adalah yang terbaik untuk mewujudkan sistem pemerintahan sekuler, seperti negara-negara eropa umumnya. Jilbab menurut asumsi sebagian anggota parlemen yang berkuasa tergolong pakaian yang bersifat "sekterian" dan dituding akan banyak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat Madani, lebih tragis lagi statemen yang keluar dari al-Hadi Muhanni pimpinan umum partai Demokrat (sebagai partai yang berkuasa): bila kita abaikan urusan Jilbab hari ini, maka jangan salah bila suatu saat nanti wanita-wanita kita akan dilarang bekerja, berpartisipasi dalam pemilu, atau bekerja di kantor.

Banyak kalangan menilai bahwa alas an-alasan diatas terkesan sangat mengada-ngada, bagaimana bisa rakyat Tunisia dipisahkan dari kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri, hanya karena sebuah tujuan semu. Gejolak yang dikhawtirkan timbul juga tidak masuk akal. Mengapa? Penduduk Tunisia sudah hidup berdampingan selama berabad-abad, namun tak pernah terjadi gap hanya karena sebuah perbedaan cara berpakain.

Sebenarnya sah-sah saja bagi pemerintah Tunisia untuk mendirikan Negara sekuler, sebab mereka adalah Negara yang berdaulat. Dan kita sama sekali tidak heran bila mereka demikian mengimpikannnya (Negara sekuler). Sebab praktek sepaket sudah pernah dihadiahkan pemerintah Turki pada rakyatnya, sejak mereka mendeklarasikan diri sebagai Negara islam sekuler pertama, namun akhir dekade ini praktek sekuleristik di sana banyak mengalami kelesuan. Rakyat yang sudah sangat akrab dengan tradisi mereka akan sulit untuk dipisahkan, bahkan Gorsal Teken selaku pemimpin partai Republik Turki (sebuah partai berideologi sekuler dan sempat berkuasa selama beberapa tahun, sebelum akhirnya Rajab Tayib Erdogan berhasil memenangkan pemilu pada 2004 silam ) memberi pernyataan mengejutkan akhir-akhir ini: “sudah tidak masanya lagi kita melarang kaum wanita Turki untuk masuk kelas (sekolah atau kuliah) dengan melepas Jilbanya”, meski pernyataan ini dinilai oleh banyak kalangan memuat kepentingan politis, namun ini merupakan pernyataan mengejutkan sekaligus juga melegakan.

Pernyataan ini disambut hangat oleh perempuan-perempuan Turki, sebab ini akan menjadi awal yang baik bagi pemerintah Turki mendatang dalam mewujudkan kebebasan berekpresi, sebagai negara yang majmuk. Negara Kamal Attaturk ini seakan menyadari pentingnya keterbukaan dalam menyikapi perbedaan, karena keterbukaan adalah kunci terciptanya sebuah peradaban, yang dibangun atas dasar kasih sayang bukan dengan paksaan.

Kembali pada kasus yang terjadi di Tunisia. Berawal dari selembar surat resmi yang dikeluarkan oleh Menteri urusan wanita dan keluarga Mis: Aqilah Bil Tayyib yang bernomor 752 tanggal 23 April 2008 yang ditujukan pada segenap Peminpin Riyad al-Atfal (setingkat TK), yang berisi perintah resmi agar setiap murid perempuan meninggalkan jilbabnya di rumah dan dilarang memakainya di sekolah.

Tak cukup dengan surat perintah saja, akhirnya pemerintah membuat keputusan untuk membentuk badan khusus yang bertugas menangani (menggelandang) tiap perempuan yang melanggar peraturan tersebut ke kantor polisi terdekat, untuk kemudian dipaksa agar tidak mengulangi dengan perjanjian diatas materei.

Kejadian ini terekam dalam sebuah surat kabar al-Sabil pada 2 Mei 2008 silam, tepatnya di kota Shafakis (kawasan utara tunis) selepas shalat jum'at, secara tiba-tiba dan serempak segerombolan orang berseragam resmi memaksa masuk ke sebuah perkumpulan perempuan di rumah Maryam Binti Munsif, dan memaksa sebagian mereka untuk segera ke kantor polisi terdekat. Diantara para perempuan ynag ditangkap adalah Hanan Sya'ban seorang mahasiswi fakultas Adab tingkat I, Funun Bakkar Mahasiswi Fakultas adab, Inas al-Jaluly mahasiswi jurusan Informatika dan bebrapa sahabatnya.

Mereka berdalih bahwa tindakan ini adalah ralisasi dari peraturan pemerintah bernomor 108, yang secara resmi (meski sepihak) pernah disahkan oleh mantan presiden al-Habib Burqiyah. Karena mendapat banyak “kecaman” operasi ini sempat dihentikan. Namun pada 16 Nopember 2008 kemaren, operasi ini terulang kembali. Kali ini sasaran yang ditujukan adalah siswi-siswi Tsanawiyah (setingkat SMA) yang tidak diperbolehkan masuk gara-gara memakai jilbab.

Sebenarnya fenomena pemakaian jilbab sudah menjadi tradisi berabad-abad di Tunisia, ia seakan sudah menjadi pakaian tak terpisahkan dari warga Tunis. Kesaksian Aiman (24) seorang penyiar radio lokal ini, setidaknya cukup mewakili keseharian warga Tunis "saya memakai Jilbab modern dengan sangat nyaman di tempat kerja". Bahkan Kholil al-Zamity Sosiolog kenamaan menambahkan bahwa jilbab yang dipakai wanita Tunis selalu mengikuti perkembangan trend, jadi tak benar bila pemakaiannya menimbulkan gejolak.

Menteri luar negeri Tunisia adalah salah seorang yang getol menuntut penghapusan undang-undang kontroversial ini bertanya: bila pemerintah Tunis hendak memerangi model pakaian-pakaian yang datangnya dari peradaban bangsa lain, mengapa fokusnya hanya jilbab saja.

Memang asumsi yang berkembang sementara ini, jilbab dianggap pakaian yang paling dominan memberi ciri khas setiap muslimah, bahkan jilbab sudah menjadi standart bagi kesalehan wanita muslimah. Namun bila mau jujur, para Biarawati juga memakai pakaian yang mirip atau bahkan sama persis dengan pakaian seorang muslimah. Tapi kenyataannya mereka tetap melenggang dan melela dengan bebasnya di setiap tempat di negara-negara eropa sana, tanpa ada yang "sok centil" mengusik kebebasan berekpresi mereka. Toh dalam hal ini tak ada yang merugi atau dirugikan, kecuali bila hal tersebut, nyata-nyata menimbulkan kecemasan di tengah masyarakat.

Saya terkadang merasa bingung dengan sistem sekuler yang dianut Tunisia dan Turki, mengapa hanya gara-gara jilbab saja, berani menghalangi warganya dari pendidikan yang diyakini akan membawa pencerahan bagi generasi mendatang. Sementara di eropa dan Amerika dengan segala pernak-perniknya tak ada yang perduli dengan ciri khas sebuah pakaian.

Sejak kapan pakaian telah menjadi trend dari identitas negara maju, naïf rasanya bila kita menilai kemajuan sebuah Negara, hanya melalui pakaiannya yang begini dan begitu. Negara maju tak lebih karena sebuah sistem pendidikannya yang maju, sehingga berhasil melahirkan generasi-generasi andal dan berkwalitas serta siap bersaing di kancah internasional. Saya kira tak ada yang mengatakan “enstein itu adalah orang hebat” karena pakaiannya gak pernah ganti, misalnya (hiks).

Apalagi jilbab menjadi pakaian favorit remaja dan ibu-ibu di Tunis, bukti ini dinyatakan sebuah lembaga independent yang bergelut dalam perkembangan trend mode yang sedang in. Adalah Naimah, seorang pedagang wanita, yang terpaksa berdagang jilbab di perbatasan Tunis-Libya mengungkapkan, bahwa omset penjualan jilbab sebenarnya sangat menguntungkan bagi para pedagang, namun operasi yang sempat dilakukan petugas memaksa mereka untuk berjualan ke perbatasan Libya.

Entah apa yang merasuki otak " kaum Feminis" Tunis sehingga bertindak demikian ceroboh, pemerintah yang mestinya menjamin kebebasan berekpresi setiap warganya malah mengoyak-ngoyaknya. Apakah arus feminisme eropa sedemikian dahsyatnya, sehingga membuat kaum feminis Tunis demikian terkesima hingga kemudian kehilangan identitas diri, dan secara membabi buta mau saja meniru pakaian wanita ala-eropa.

Meyakini sebuah ideologi tertentu sah-sah saja, namun memaksakannya pada orang lain, apalagi pada rakyat yang semestinya hak-haknya dihargai dan dihormati, sama sekali tak bisa dimengerti. Kesalahan menginterpretasi arus modernisme telah menyeret beberapa Negara islam pada pem"bebek"an terhadap barat. Klimaksnya segala sesuatu yang jadi standart adalah Barat.

Alhasil, kita semakin hari semakin kabur dengan identitas kita sendiri, terkadang dengan rela hati menjadi budak kaum imperialis modern. Simak saja perjuangan Turki yang mati-matian ingin menjadi anggota uni-eropa, segala upaya dilakukan pemerintah meski kenyataannya harus menanggalkan sementara komitmennya sebagai negara berdaulat. Tindakan ini juga banyak ditiru negara-negara berdaulat lainnya, yang selalu menempel di bawah ketiak imperialis Barat.

Namun terpilihnya Rajab Tayib Erdogan (pemimpin partai Hizb al-Adalah Wal Tanmiyah) dari partai berbasis Islam, seakan membawa semangat baru bagi warga Turki, apalagi sejumlah penganut sekuler sudah mulai melunak, dan sepakat untuk menghapus peraturan yang melarang perempuan Turki ke sekolah dengan jilbab. Puncaknya pada 22/11/2008 lalu Pemerintah secara resmi mempersilahkan para siswi dan mahasiswi memakai kembali jilbabnya baik di kelas maupun kuliah (Aljazeera).

Seorang pengamat politik Turki Ibrahim menilai: bahwa penghapusan yang didukung oleh mayoritas anggota parlemen ini banyak muatan politiknya dari sekedar penyataan resmi publik, apalagi menyusul jebloknya perolehan suara Partai Republik di pemilu 2004 silam. Namun, asumsi ini disangkal oleh penulis islam terkenal Turki Ahmad Haqan " saya sudah katakan bahwa Gornal Teken (pemimpin Partai Republik) memang berbeda, dia mempunyai karakter disiplin, dekat dengan orang-orang yang tidak mampu, dan menjalin hubungan khusus dengan tokoh-tokoh agama, dia tipe pemimpin yang sangat merakyat".

Terlepas dari wacana di atas, sudah selayaknya Tunis belajar dari pengalaman di Turki, suatu kesalahan fatal bila beranggapan bahwa pemakain jilbab bisa menimbulkan gap, tak wajar kiranya bila kita menilai kemajuan sebuah negara hanya dengan baju dan pakainnya. Berikan rakyat kebebasan berekpresi dengan norma yang sudah ada dalam adat mereka, kreatifitas generasi muda akan sangat menguntungkan negara di masa mendatang, so jangan dihalang-halangi mereka dari pendidikan.

23 Nopember 2008
Tajamuk Khomis, New Cairo.

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

Cari Artikel saya

Anda pengunjung ke