Tapi, sampai detik ini saya masih saja bertanya dalam hati, apakah tidak terlalu egois? Sebab ambisi untuk selalu menjadi pemenang, cenderung membuat orang lupa diri, dan yang paling disayangkan apabila sudah menghalalkan segala cara.
Pemenang memang selalu dipuja, dielu-elukan. Tapi, yang kalah juga banyak mendapat simpati karena sikap patriotiknya. Kenapa tidak mencoba untuk mengalah? Toh simpati jauh lebih tulus dari sekedar pujian.
Saya belum pernah merasa menang dengan kehidupan ini, saya juga tak pernah ingat saya pernah menang. Jadi, bagi saya menang itu gak ngaruh.
Menang atau kalah hanya predikat, yang sewaktu-waktu bisa melekat pada siapapun, termasuk saya, dia, bahkan kamu. Berarti tak ada yang istimewa dengan predikat menang atau kalah.
Kalau boleh saya umpamakan seperti lotre, yang tak mengenal setatus. Menang bisa membuat orang tertawa berjingkrak, kalah bisa bikin orang menangis, mengerang-erang.
Lantas setelah tertawa berjingkrak atau menangis sambil mengerang apa yang didapat? Ok, Kebahagian karena berhasil menjadi pemenang, atau kekecewaan karena kalah. Apa hebatnya?
Masih banyak faktor lain yang bisa membuat orang bahagia maupun kecewa. Bukan cuma dengan menjadi pemenang atau pecundang.
Dua predikat ini, sudah terlalu banyak menyita waktu (kita), mempermainkan (kita), menghentikan langkah (kita), bahkan terkadang mengubur (kita). Mengapa kita tak mau mencoba untuk tidak menoleh pada dua predikat yang nyatanya terus menempel pada tiap makhluk hidup baik disadari atau tidak. Terus berkarya dalam hidup jauh lebih berarti dari sekedar menang atau kalah.
Ingat, menjadi pemenang atau pecundang bukanlah tujuan, tapi itu hanya konsekwensi dari pencapaian kita, bukan tugas kita.
11 Nopember 2008 M
Tajamuk Khomis, New Cairo
Tags :
Refleksi
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments