Saat Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikepalai Pak Mahfud MD memutuskan rekapitulasi ulang hasil Pilgub di Pamekasan, dan pemungutan dan penghitungan suara ulang di Bangkalan dan Sampang. Kasus ini secara tidak langsung telah menjadi semacam “borok” dalam benakku yang mendesak untuk segera saya tuangkan dalam artikel ini.
Melalui pengamatan panjang dan comot data sana-sini, akhirnya saya bisa sedikit menarik benang merah dari kasus “pelecehan warga” seperti keras diteriakkan aktivis Gerakan Madura Bersatu (GMB) Sampang atau sebuah LSM yang menyebut diri Lempar Bangkalan.
Dana yang digelontorkan oleh Pemerintah Daerah terbuang percuma, dan memaksa mereka menggarus APBD untuk kedua kali hanya karena sebuah kecerobohan atau lebih tepatnya kecurangan oknum-oknum anti-jurdil (jujur dan adil) dalam Pilgub Jatim. Putusan kali ini MK menegaskan bahwa mereka telah menyiapkan sekitar 18,6 miliar untuk sekedar rekapitulasi ulang di Pamekasan, sementara untuk pemungutan dan penghitungan ulang di Bangkalan dan Sampang dibebankan kembali ke Pemeritah Daerah Jawa Timur.
Bila kita mau flashback sebentar dan mengeja ulang budaya warga Madura, kita akan sadar bahwa bagi warga Madura adanya Pemilu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Hal ini didasarkan pada pola hidup dan pola pikir warga yang sangat sederhana dan apa adanya. Bagi warga mendapatkan pagi hari dengan secangkir kopi dan rokok di tangan, ditambah lagi dapur mengepul sudah cukup untuk menyebutnya pagi yang indah.
Maka tidak heran bila musim Pemilu tiba, mereka seperti terganggu aktifitas sehari-harinya. Konsekwensinya budaya golput masih dominan bahkan pada Pilgub yang lalu golput mencapai 32% suara. Kalaupun ada yang perduli dengan Pemilu itu tidak lepas dari peran para Kyai yang dinobatkan sebagai para Nabi (makshum) bagi masyarakat Madura. Jadi tak mengherankan bila pada Pilgub jilid II ini ada beberapa oknum Kyai yang mencoba mengadu nasib menjadi tim sukses Kar-Sa atau Ka-Ji (sebagai empat pasang kandidat kuat calon Gubernur dan Wakil Gubernur).
Bahkan kabarnya sebuah fatwa yang diperkuat beberapa Ayat Al-Qur’an dan Hadist sudah disebar luas oleh salah seorang Kyai tersohor di Sampang, tepat saat perayaan pernikahan salah satu cucunya (www.inilah.com edisi 10-12-2008). Bagi Kyai yang doyan memperjual belikan suara umat (untuk lebih sopan tidak menyebut memperjual belikan agama), Pemilu menjadi lahan empuk untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
Adik Saya dan sejumlah kawannya yang kebetulan ada (nyantri) di salah satu pesantren di Jawa Timur tak lepas dari manuver politik Kyai model ini. Dia sekarang diijinkan pulang ke Madura hanya untuk berkampanye sebagai kepanjangan tangan sang Kyai yang menjadi tim sukses salah satu pasangan calon Gubernur-Wagub. Saat saya konfirmasi tentang dana, dia menyebutkan bahwa pesantren mendanai penuh dari misi ini.
Melalui bocoran seorang kawan yang aktif dalam Pilgub jilid II Bangkalan yang akan digelar 21 Januari 2009 mendatang. Dia menyatakan pada saya bahwa seorang Kyai di Bangkalan berani menjanjikan 50 ribuan perorang bagi siapa saja yang menyatakan siap memilih bos-nya.
kalau bukan kekayaan kira-kira apalagi yang membuat beberapa oknum Kyai bertindak sedemikian bodoh. Memberi fatwa tentang bolehnya memilih calon pemimpin perempuan adalah bentuk “pembodohan” terhadap warga yang syarat sah dan batalnya shalat saja mereka tidak mengerti. Mengirim beberapa santri dalam upaya mensukseskan salah satu calon pemimpin adalah tindakan yang tidak dibenarkan, apalagi disertai money politic yang jelas-jelas melanggar aturan Pemerintah dan Agama.
Entah pembodohan massal apalagi yang akan digunakan Kyai-kyai tersebut dengan otoritasnya. Warga Madura yang lugu dan awam seringkali menjadi obyek manuver politik para Kyai. Anehnya Kyai-kyai yang lain, yang semestinya menjadi contoh baik dalam upaya mencerdaskan bangsa malah diam atau ikut terlibat dalam permainan bola panas ini.
Sejatinya warga Madura sudah gerah dengan urusan politik yang nyata-nyata tidak memberi perubahan berarti bagi mereka, terbukti dengan meningkatnya golput dari tahun ketahun (www.kompas.com edisi 29/30-12-2008). Seandainya bukan karena takut “kwalat Kyai” mereka pasti lebih memilih untuk pergi ke sawah atau ke pasar.
Memang kharisma seorang Kyai di mata warga sangat dominan, seandainya kharisma tersebut digunakan sebagaimana mestinya untuk kemudian mereka (para Kyai) mau bersepakat. Maka dalam kurun waktu yang relatif singkat –saya yakin- kita bisa menyaksikan perubahan berarti baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, dan ekonomi Madura.
Tapi kenyataannya politik telah membuat warga Madura terkotak-kotak, sehingga fanatisme buta banyak menimbulkan gejolak diantara warga. Figur-figur Kyai yang bisa menentramkan sekaligus mencerahkan adalah impian tiap warga Madura. Jangan salahkan warga bila suatu saat nanti figur Kyai akan tidak lagi mendapat tempat di hati warga. Tindak-tanduk mereka sangat menentukan di masa mendatang, kecerobohan sedikit saja bisa berpeluang menjadi luka mendalam dalam benak masyarakat Madura.
Tajamuk Khomis, New Cairo
31 Desember 2008 M
Tags :
Opini
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
1 Comments
'Jangan salahkan warga bila suatu saat nanti figur Kyai akan tidak lagi mendapat tempat di hati warga. '. kalimat yang sama juga pernah diucapkan paman kita (Man Tamhid) pada ku 7 tahun lalu ketika kami ngobrol ttg kultur Madura kita... dulu waktu ku sekolah di Bangkalan. kita tunggu saja....
Reply Delete