Imam Ningsih, demikian nama populer dari karib kami ini, lajang kelahiran pulau Madura ini sangat ramah meski wajahnya sangar (bercanda broe!), sangat familiar di kalangan Masisir karena dia suka guyon, gak banyak tingkah karena memang tak pantas untuk bertingkah (sori Mam), nyebelin sekaligus ngangenin (cie kayak cewek aja, jangan PD dulu), cerdas namun sangat pemalas, selain diktat kuliah jangan harap bisa maksa lanceng Madure ini
untuk baca. Bahkan koranpun dia emoh untuk membacanya, kalaupun ada isu menarik, paling banter dia hanya akan baca judulnya saja. Lantas darimana dia dapatkan pengetahuan? Ini dia yang unik dari tokoh kita yang satu ini. Dia biasa dapat tambahan bekal pengetahuan dari ngobrol, nguping, dan diskusi ngalor-ngidul.
Meski demikian bukan berarti dia tidak bisa diajak serius, di saat mendesak dia sering menjelma menjadi pria dewasa penuh karakter. Tak pelak, beberapa problem besar yang belum waktunya ditanggung anak seumuran dia bisa dia selesaikan dengan sangat tepat, teliti, cermat dan penuh tanggung jawab. Jadi tak berlebihan kalau Aku bilang “ini dia lelaki jantan”.
Dalam menyelesaikan persoalan hidup, dia pernah bercerita bahwa dia berguru dengan kakak kelasnya di Universitas al-Azhar, dia kerap sekali menyebut nama pria ini (gara-gara gak punya cewek kalee) hiks. Terus terang saja, Imam sangat antipati mendekati perempuan yang bukan mahrom, selain memang dilarang agama tentu saja karena pernah ditolak (he he) kacian.
Sewaktu di Mesir Imam bisa masuk kategori mahasiswa yang rajin sholat berjemaah di Mesjid, sehingga dari saking seringnya dia bolak-balik ke Mesjid, dia banyak mendapat simpati warga sekitar, tak terkecuali para Syeikh (sebutan untuk seorang Imam mesjid). Bagi masyarakat Mesir sendiri Sholat berjamaah sudah menjadi standart shaleh dan tidaknya seorang mukmin. Jadi, selain bersikap sopan, rajin-rajinlah ke Mesjid, pasti kamu akan mendapat respon positif dari warga sekitar.
Beginilah fenomena mayoritas Negara-negara Islam yang (masih) memandang agama hanya ritual belaka. Sebagai catatan saja, Aku yakin dia bukanlah orang yang suka pamrih dalam beribadah selain ampunan dan pahala Allah tidak ada lagi yang dia harapkan, semoga.
Kedekatan Imam dengan warga sekiatar (baca: tetangga), bisa kita saksikan saat-saat terakhir Imam akan berangkat Haji, semua orang merasa kehilangan termasuk Aku. Bahkan dengan senang hati, ada dua orang Syeikh yang menyediakan mobilnya untuk mengantar Imam.
Cara berfikir “makhluk” (bosen nyebut namanya terus he he) yang satu ini juga sangat sederhana, karena dia dibesarkan di sebuah keluarga yang sederhana pula. Dia tidak neko-neko dalam menyikapi kehidupan. Baginya sudah cukup mengajar di pesantren (tempat dia dikaderkan) dan menjadi pengayom bagi warga sekitar. Maka tak heran jika pria berkulit celleng seddhe’ (sawo matang) ini sangat menggandrungi kajian fiqih. Dia sempat berucap bahwa suatu saat nanti dia mengimpikan warga Madura mau dan bisa mempelajari Madzahib Al-Arbaah (Madzhab empat dalam Fiqih), semoga Allah mewujudkan apa yang dia harapkan, amin. Sebab menurut dia, Fiqih Syafi’i saja tidak cukup untuk mencari solusi tepat dari problematika kekinian umat.
Dia bukanlah tipe orang yang tertutup dengan isu-isu kontemporer, dia sangat responsif. Hanya saja terkadang dia terlalu cepat mengklaim dan menghukumi sesuatu yang belum jelas. Seperti layaknya watak mayoritas warga Madura. Teori fiqihisme yang mereka tekuni cenderung membikin mereka kaku dalam melegitimasi tiap orang yang berbeda pendapat.
Ada celah terang dalam diri Imam, dan Aku pikir warga Madura selayaknya mulai menyadari hal itu, dimana dia sudah mulai merasakan adanya kerancuan dalam beberapa praktek keagamaan masyarakat Madura. Semisal tradisi Sungkem (mencium tangan Kyai dengan disertai pemberian uang) yang masih belum bisa dicabut dari kebiasaan warga. Menurut dia, tidak seharusnya warga memaksakan diri untuk bersalaman dengan uang, sebab mereka jelas lebih membutuhkan dari seorang Kyai yang terkadang memiliki mobil lebih dari satu, istri lebih dari satu, rumah mewah, dan umroh setiap tahun plus tour kelililng Timur-tengah.
Ada lagi, kebiasaan rokok dan merokok yang sudah tak dapat dipisahkan dengan umumnya mayoritas warga, adalah termasuk penyakit masyarakat yang perlu segera dibasmi. Bayangkan saja, seorang suami lebih memilih rokok walaupun dapur tidak mengepul. Imam menambahkan bahwa separuh dari daerah subur Pamekasan sudah ditanami tembakau. Padahal sudah jelas warga lebih membutuhkan padi.
Bagi dia, kehidupan ala-kapitalis yang dilakoni para Kyai ini sudah selayaknya dilepas. Mengingat mereka adalah panutan dan pemimpin, tak benar bila mereka menimbun kekayaan sementara masyarakat sekitar kelaparan dan diperkosa oleh kemiskinan. Masih menurut Imam, tidak adanya peningkatan mutu dalam pendidikan di Pesantren adalah bukti ketidak seriusan para Kyai dan Ustadz menangani pendidikan. Hal ini menjadi semacam pembodohan massal, apalagi dibumbuhi doktrin-doktrin naïf Kyai, seperti sabda seorang Kyai “yang penting kamu taat terhadap Kyai, urusan Ilmu itu nomor tujuh belas” dan masih banyak lagi doktrin-doktrin “masa jahiliyah” yang mendesak untuk segera direvisi.
Kalau Aku boleh menambahkan, santri- menurut persepsi Aku- sejajar dengan budak di hadapan kyai. Bahkan sampai tujuh turunan, dia seperti dikutuk untuk menjadi budak (santri abadi) dan tidak akan naik levelnya menjadi ustad apalagi Kyai. Di Madura ada semacam ideologi aneh, yang meyakini bahwa benih seorang Kyai hanya akan melahirkan Lora (baca: Gus calon Kyai) meski keluar dari induk "wanita lacur", pun demikian sebaliknya. Realita pengkultusan semena-mena ini sudah bukan rahasia lagi.
Mengapa sistem aristokrat (kerajaan) yang pernah dikecam oleh Nabi, malah para Kyai yang mempraktekkannya. Apa karena ilmu yang mereka miliki? Bila memang ia, seharusnya mereka sadar bahwa ilmu tersebut sejatinya adalah titipan Allah.
Mengapa masih ada jurang pemisah yang sangat dalam antara Kyai dan masyarakat biasa, seperti layaknya Raja dan rakyat jelata? Bila kenyataannya mereka membaca ayat-ayat Allah. Bukankah tidak ada yang membedakan antara dia dan siapapun selain takwa.
Sekelumit “kalimat pengantar” dari kepergian sahabatku ini, semoga menjadi doa’ yang bisa memberinya kekuatan untuk menapaki jenjang hidup selanjutnya. Dengan harapan, kelak dia bisa maksimal menjadi abdi masyarakat bukan memperbudak masyarakat. Setiap salah dariku tolong maafkan, dan terimakasih karena sudah mengajariku banyak hal. Sampai jumpa di pulau Madura tercinta, salamku buat seluruh penghuni pulau (termasuk jin dan dedemitnya).
30 Nopember 2008
Tajamuk Khomis, New Cairo
Meski demikian bukan berarti dia tidak bisa diajak serius, di saat mendesak dia sering menjelma menjadi pria dewasa penuh karakter. Tak pelak, beberapa problem besar yang belum waktunya ditanggung anak seumuran dia bisa dia selesaikan dengan sangat tepat, teliti, cermat dan penuh tanggung jawab. Jadi tak berlebihan kalau Aku bilang “ini dia lelaki jantan”.
Dalam menyelesaikan persoalan hidup, dia pernah bercerita bahwa dia berguru dengan kakak kelasnya di Universitas al-Azhar, dia kerap sekali menyebut nama pria ini (gara-gara gak punya cewek kalee) hiks. Terus terang saja, Imam sangat antipati mendekati perempuan yang bukan mahrom, selain memang dilarang agama tentu saja karena pernah ditolak (he he) kacian.
Sewaktu di Mesir Imam bisa masuk kategori mahasiswa yang rajin sholat berjemaah di Mesjid, sehingga dari saking seringnya dia bolak-balik ke Mesjid, dia banyak mendapat simpati warga sekitar, tak terkecuali para Syeikh (sebutan untuk seorang Imam mesjid). Bagi masyarakat Mesir sendiri Sholat berjamaah sudah menjadi standart shaleh dan tidaknya seorang mukmin. Jadi, selain bersikap sopan, rajin-rajinlah ke Mesjid, pasti kamu akan mendapat respon positif dari warga sekitar.
Beginilah fenomena mayoritas Negara-negara Islam yang (masih) memandang agama hanya ritual belaka. Sebagai catatan saja, Aku yakin dia bukanlah orang yang suka pamrih dalam beribadah selain ampunan dan pahala Allah tidak ada lagi yang dia harapkan, semoga.
Kedekatan Imam dengan warga sekiatar (baca: tetangga), bisa kita saksikan saat-saat terakhir Imam akan berangkat Haji, semua orang merasa kehilangan termasuk Aku. Bahkan dengan senang hati, ada dua orang Syeikh yang menyediakan mobilnya untuk mengantar Imam.
Cara berfikir “makhluk” (bosen nyebut namanya terus he he) yang satu ini juga sangat sederhana, karena dia dibesarkan di sebuah keluarga yang sederhana pula. Dia tidak neko-neko dalam menyikapi kehidupan. Baginya sudah cukup mengajar di pesantren (tempat dia dikaderkan) dan menjadi pengayom bagi warga sekitar. Maka tak heran jika pria berkulit celleng seddhe’ (sawo matang) ini sangat menggandrungi kajian fiqih. Dia sempat berucap bahwa suatu saat nanti dia mengimpikan warga Madura mau dan bisa mempelajari Madzahib Al-Arbaah (Madzhab empat dalam Fiqih), semoga Allah mewujudkan apa yang dia harapkan, amin. Sebab menurut dia, Fiqih Syafi’i saja tidak cukup untuk mencari solusi tepat dari problematika kekinian umat.
Dia bukanlah tipe orang yang tertutup dengan isu-isu kontemporer, dia sangat responsif. Hanya saja terkadang dia terlalu cepat mengklaim dan menghukumi sesuatu yang belum jelas. Seperti layaknya watak mayoritas warga Madura. Teori fiqihisme yang mereka tekuni cenderung membikin mereka kaku dalam melegitimasi tiap orang yang berbeda pendapat.
Ada celah terang dalam diri Imam, dan Aku pikir warga Madura selayaknya mulai menyadari hal itu, dimana dia sudah mulai merasakan adanya kerancuan dalam beberapa praktek keagamaan masyarakat Madura. Semisal tradisi Sungkem (mencium tangan Kyai dengan disertai pemberian uang) yang masih belum bisa dicabut dari kebiasaan warga. Menurut dia, tidak seharusnya warga memaksakan diri untuk bersalaman dengan uang, sebab mereka jelas lebih membutuhkan dari seorang Kyai yang terkadang memiliki mobil lebih dari satu, istri lebih dari satu, rumah mewah, dan umroh setiap tahun plus tour kelililng Timur-tengah.
Ada lagi, kebiasaan rokok dan merokok yang sudah tak dapat dipisahkan dengan umumnya mayoritas warga, adalah termasuk penyakit masyarakat yang perlu segera dibasmi. Bayangkan saja, seorang suami lebih memilih rokok walaupun dapur tidak mengepul. Imam menambahkan bahwa separuh dari daerah subur Pamekasan sudah ditanami tembakau. Padahal sudah jelas warga lebih membutuhkan padi.
Bagi dia, kehidupan ala-kapitalis yang dilakoni para Kyai ini sudah selayaknya dilepas. Mengingat mereka adalah panutan dan pemimpin, tak benar bila mereka menimbun kekayaan sementara masyarakat sekitar kelaparan dan diperkosa oleh kemiskinan. Masih menurut Imam, tidak adanya peningkatan mutu dalam pendidikan di Pesantren adalah bukti ketidak seriusan para Kyai dan Ustadz menangani pendidikan. Hal ini menjadi semacam pembodohan massal, apalagi dibumbuhi doktrin-doktrin naïf Kyai, seperti sabda seorang Kyai “yang penting kamu taat terhadap Kyai, urusan Ilmu itu nomor tujuh belas” dan masih banyak lagi doktrin-doktrin “masa jahiliyah” yang mendesak untuk segera direvisi.
Kalau Aku boleh menambahkan, santri- menurut persepsi Aku- sejajar dengan budak di hadapan kyai. Bahkan sampai tujuh turunan, dia seperti dikutuk untuk menjadi budak (santri abadi) dan tidak akan naik levelnya menjadi ustad apalagi Kyai. Di Madura ada semacam ideologi aneh, yang meyakini bahwa benih seorang Kyai hanya akan melahirkan Lora (baca: Gus calon Kyai) meski keluar dari induk "wanita lacur", pun demikian sebaliknya. Realita pengkultusan semena-mena ini sudah bukan rahasia lagi.
Mengapa sistem aristokrat (kerajaan) yang pernah dikecam oleh Nabi, malah para Kyai yang mempraktekkannya. Apa karena ilmu yang mereka miliki? Bila memang ia, seharusnya mereka sadar bahwa ilmu tersebut sejatinya adalah titipan Allah.
Mengapa masih ada jurang pemisah yang sangat dalam antara Kyai dan masyarakat biasa, seperti layaknya Raja dan rakyat jelata? Bila kenyataannya mereka membaca ayat-ayat Allah. Bukankah tidak ada yang membedakan antara dia dan siapapun selain takwa.
Sekelumit “kalimat pengantar” dari kepergian sahabatku ini, semoga menjadi doa’ yang bisa memberinya kekuatan untuk menapaki jenjang hidup selanjutnya. Dengan harapan, kelak dia bisa maksimal menjadi abdi masyarakat bukan memperbudak masyarakat. Setiap salah dariku tolong maafkan, dan terimakasih karena sudah mengajariku banyak hal. Sampai jumpa di pulau Madura tercinta, salamku buat seluruh penghuni pulau (termasuk jin dan dedemitnya).
30 Nopember 2008
Tajamuk Khomis, New Cairo
Tags :
Profil
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments