SELAMAT MEMBACA TULISAN SAYA, By Abdul Munim Cholil >>> Orang yang mencari "kecukupan duniawi" dengan cara mengumpulkan harta seperti memadamkan api dengan jerami (Bakr bin Abdullah), demikian statemen yang saya kutip dari kitab Ihya milik imam Al-Ghazali.

1/07/2009

thumbnail

Perempuan Perkasa Itu Kini Telah Tiada

Jam 4 Subuh perempuan paruh baya ini bangun dari peraduannya, dia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu’ dan kemudian shalat Tahajud, Hajat dan lain-lainnya hingga Subuh menjelang.

Menjelang Subuh dia segera ke Langgar (Musholla atau Surau) yang berada tepat di belakang rumahnya, dalam rangka menjadi Imam bagi para gadis-gadis kampung yang sudah menginap dari kemaren sore. Selepas Subuh perempuan berputera 3 ini (karena sebagian besar anak-anaknya meninggal semasa kanak-kanak) mengajar gadis-gadis kampung; mengaji al-Qur’an dan sorogan kitab-kitab turast yang sudah dihafalnya di luar kepala sejak kecil.


Meski beliau bukan tergolong orang yang hafal al-Qur’an tapi saat mengajar beliau sama sekali tidak memegangnya. Karena dari seringnya membaca sehingga menimbulkan kepekaan pendengaran dalam dirinya. Hal ini sama sekali tidak aneh, sebab tradisi ini sudah berlangsung secara turun temurun dalam keluarga ini.

Selesai mengajar beliau pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan, sesekali pergi ke toko dulu untuk belanja keperluan dapur yang sudah habis. Beranjak siang beliau bercengkrama dengan salah seorang cucunya, atau menerima tamu atau bertamu untuk mempererat tali silaturrahim. Namun saat musim hujan tiba biasanya beliau menyempatkan diri ke sawah untuk membantu menyiapkan sarapan bagi warga yang membajak sawahnya dengan upah.

Begitulah sekelumit potret tradisi kehidupan keluarga Nyai Sulatri (yang kemudian mengganti nama setelah haji dengan Hajjah Toyyibah). Sebuah keluarga yang patuh dalam beragama, dan menjadi tokoh-tokoh sentral masyarakat sekitar selama turun temurun. Hingga mereka mendapat gelar panggilan khusus di tengah komunitas warga Madura, untuk para bapak dari keturunan ini biasa dipanggil dengan Bhindere atau Kyai saat dipanggil ke atas podium, untuk anak mudanya di panggil Bhindere juga, meski sebagian anak sebaya mereka ada yang memanggil dengan ‘kakak’ atau ‘paman’.

Sebuah tradisi yang seakan membedakan kasta ini, sudah berlangsung lama dan mendarah daging dalam pergaulan warga, sebuah tradisi yang menjadikan sebagian warga enggan untuk sekedar membenarkan jika mereka salah, dan memberikan saran saat orang-orang terhormat ini kebingungan. Mereka adalah manusia-manusia kebal kritik bahkan terkadang hukum.

Bhe’ Lat, demikian biasa Saya memanggil perempuan paruh baya tersebut, (Bhe’) adalah potongan dari kata Obhe yang berarti kakak kandung perempuan dari salah satu orang tua kita, sedangkan (Lat) adalah penggalan nama Sulatri.

Ibu dari tiga anak ini hidup sangat bersahaja, kesehariannya hanya diisi dengan menjadi ibu rumah tangga, dan mengajar gadis-gadis kampung dasar-dasar ilmu agama. Beliau memang tidak pernah mengenyam pendidikan SR (setingkat SD) pada masanya, mungkin karena orang tua beliau (kakek Saya) yang menjabat sebagai Kyai di kampung tersebut meyakini bahwa SR/SD itu sekolahan kafir. Jadi dampak nyata dari pendidikan Obhe, adalah saat beliau dikaruniai menantu gadis jawa asli, Obhe yang buta huruf latin mendapat kesulitan berkomunikasi dengan menantunya. sehingga putera beliau harus membantu menterjemah tiap kata-kata si menantu. Lucu bukan?!

Tapi, kalau ditanya masalah agama yang berkenaan dengan ibadah beliau akan dengan lancar menjawab. Sebab hukum-hukum fiqih ibadah madzhab Syafii sudah dihafalnya diluar kepala sejak kecil secara talaqqi dari kakek.

Beliau tipe Ibu yang sangat penyabar, menurut kesaksian Abah Saya, Obhe adalah orang yang tidak suka bicara banyak apalagi marah-marah. Obhe juga sangat sayang terhadap anak-anaknya dan sama sekali tidak pernah memaksakan kehendak, semua diserahkan pada si anak termasuk masa depan pendidikannya.

Sehingga meski beliau buta huruf latin tapi anak-anaknya menjadi orang-orang sukses dalam dunia pendidikan, Kak Tamhid (putera pertama) telah mendirikan pesantren khusus Tahfidz al-Qur’an, Kak Baihaqi (kedua) menjadi guru senior di salah satu pesantren terbesar di kota Bangkalan, dan Kak Abu Bakar (Bungsu) telah berhasil mendapatkan gelar Masternya dengan predikat Summa Cumlude.

Menurut Saya orang tua semestinya memperlakukan anak sesuai dengan ruang dan waktu tanpa dipaksa ataupun didekte. Sebab anak itu tumbuh di masa yang berbeda dengan masa orang tua, dan tentunya menuntut perlakuan yang tidak sama pula.

Saya termasuk penggemar berat masakan Obhe terutama sambal kacangnya yang biasa Saya lahap setiap musim hujan tiba. Bila musim hujan tiba Saya sering menghabiskan waktu di tengah keluarga ini untuk sekedar mengobrol dan mencicipi sambal kacang plus lauk ikan Bandeng goreng. Wuih rasanya benar-benar nikmat!

Ingin rasanya masa-masa itu bisa kembali lagi. Namun tepat tanggal 02 Januari 2009 lalu Saya telah kehilangan perempuan perkasa ini, dia telah dipanggil oleh yang maha kuasa.

Saya menyebutnya perempuan perkasa sebab perempuan masa lalu telah banyak menelan pil pahit kehidupan namun mereka tetap menjalaninya dengan sabar sehingga anak-cucunyalah yang menikmati hasil kesabaran dan jerih payah mereka.

Obhe hidup persis seperti masa Siti Nurbaya dulu, dia menikah dengan suami pertamanya atas perjodohan orang tua. Madzhab Syafii yang dianut masyarakat Islam Nusantara telah membentuk cara berfikir warga sedemikian rupa. Klimaksnya mereka mengklaim bahwa Madzhab ini sudah final dan inilah agama, tidak boleh ada yang mengutak –atik termasuk hukum memaksa seorang perawan bagi orang tuanya dalam hal perjodohan.

Gejala ini menjadikan kita jumud dan kaku bahkan terkesan mengenyampingkan Madzhab-madzhab lainnya karena dianggap salah. Meski jauh-jauh hari Imam Syafii sendiri sudah memperingatkan “bahwa jika ada Hadist Sahih maka itulah Madzhabku”. Dalam artian bahwa beliau sebagai Imam madzhab tidak pernah mengklaim dialah yang paling benar.

Tak hanya Obhe, Ibu saya juga menjadi salah satu korban dari praktek fanatisme bermadzhab ini. Perjodohan yang didasarkan paksaan, telah menjerumuskan Ibu pada perceraian yang tak terlerai. Dan tentunya secara psikis Ibu telah mengalami penyiksaan batin yang selalu dia tangisi dalam tiap sujudnya. Saya sangat bersyukur pada Allah yang pada akhirnya menganugerahi Ibu seorang suami (Ayah tiri Saya) yang sangat bertanggung jawab. Mudah-mudahan dia menjadi pelabuhan terakhir Ibu sampai kakek nenek.

Padahal jika kita mau obyektif menilai, baik dari sisi nash-nash al-Qur’an maupun Hadist dan mau terbuka sedikit saja untuk menelisik melintasi madzhab Hanafi (salah satu madzhab yang empat), kita akan menemukan beberapa dalil kuat yang tidak memperbolehkan adanya praktek wali majbur (paksaan orang tua terhadap anak gadisnya dalam menikah).

Pendapat inilah yang kemudian ditarjih oleh ulama-ulama al-Azhar, bahkan Muhammadil Ghazali salah satu ulama Mesir yang sangat produktif menambahkan bahwa pendapat inilah yang paling mendekati maslahat, dan memberi kesan kelenturan syariat, serta lebih mudah dicerna oleh akal.

Artikel ini Saya tulis sebagai bentuk apresiasi terhadap kedikdayaan perempuan-perempuan kampung yang telah mengorbankan hidupnya demi masyarakat. Merekalah perempuan-perempuan perkasa itu, bukan Ibu Megawati apalagi Margareth Theacher, semoga Allah membalas semua amal ibadahnya Bhe Lat. Dan berkenan menempatkannya di sorga Firdaus, Amien.

07 Januari 2009 M
Tajamuk Khomis, New Cairo

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

Cari Artikel saya

Anda pengunjung ke