Dengan sisa kekuatan dalam diri kucoba membuka jendela, menghirup udara pagi. Jauh di ujung pertigaan Saraya aku mencoba mencari-cari mangsa, menginspirasi diri yang terus meronta, sudah semingguan ini jiwaku menggelinjang, mengumpat tak tau malu.
Siapa yang salah? Tak jelas. Ada sebuah sistem angkuh yang sulit aku tembus, ia seperti dilengkapi perangkat lunak dengan anti virus paling canggih, bahkan Mbah Google pun tak akan bisa mengaksesnya. Masa depan, begitulah sistem itu mencuri hati tiap manusia.
Aku yang terkapar lesu dengan angan-angan tabu, berjibaku dalam ranai emosi penuh dentuman egoku. Serampangan bait-bait kematian sering menjejali mimpi-mimpiku.
Hari ini bisa saja mengharu biru, esoknya bau anyir darah menyesakkan rongga hidung. Kehidupan seenaknya saja menaikkan dan menurunkan voltase. Kemaren aku merasa seperti seorang raja dengan “jari telunjuk mukjizat” memerintah semauku, tapi pagi ini ia menelanjangiku menjadi seorang budak dina yang dilelang di jantung pasar loak.
Aneh, tak biasanya aku dipertontonkan keajaiban ini. Selayaknya para Nabi yang mengemban wahyu, Aku tak tau diri mengemban malu. Iblis-iblis menertawaiku, mencoba menghibur dengan tiupan seruling khas dari negeri Jahim.
Entah kenapa Aku tak terhibur, bagiku Iblis-iblis itu hanya segerombolan kurcaci yang sepantasnya menghibur Putri Salju dalam negeri Dongeng.
Kupicingkan mata kearah jarum jam, 10:08 pagi. Sama dengan kemaren, bedanya kemaren Aku duduk manis di auditorium Al-Dzahaby, memeras otak, melumat ingatan.
“Rasanya Aku belum maksimal dalam ujian kali ini”, tak ada jawaban. Selalu saja penyesalan yang datang terlambat.
Namun keadilan Allah, sungguh mempesona. Ada semacam nilai ektas yang bisa dipetik dari tiap penyesalan. Buktikanlah, bukan hanya dengan mengumbar kata seperti politisi tapi dengan memasuki mimbar khalwat para Sufi.
Apakah sudah cukup? Belum. Keep on fighting!!!
Salam.
29 Januari 2009
Tajamuk Khomis, Qahirah Jadidah
Tags :
Refleksi
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments