Menyejukan, simpel, dan penuh makna. Tapi herannya sampai detik ini aku belum pernah puas dengan isensi pesan di atas. Ia seperti kata yang sangat bertuah, turun temurun dari seorang bijak ke orang bijak lainnya. Tak pelak sebuah hadist Nabi juga pernah menyinggungnya. Istafti qalbaka, demikian sabdanya.
Beberapa interpretasi tokoh mencoba menjelaskan, semisal Imam Al-Ghazaly; hati mempunyai dua pemahaman, pertama: daging yang berbentuk seperti daun terbelah (sanaubari) yang terdapat di dada sebelah kiri, kedua: perasaan halus yang bersifat rabbany ruhany mempunyai kaitan erat dengan yang pertama, perasaan inilah yang menjadi isensi manusia (sebab hati dalam artian yang pertama dipunyai juga oleh seekor hewan), hati dalam pengertian yang kedualah yang membedakan manusia, ia kemudian mampu mengetahui, memahami, dan bersikap.
Dari sini kita memahami kecenderungan Al-Ghazali yang tak mau menyebut otak sebagai perangkat dalam diri manusia yang membuat dia mampu mengetahui, memahami, dan bertindak. Hal ini tak lepas dari anggapan sang Imam bahwa otak tak lebih dari sekedar alat bagi manusia untuk bisa mendapat pemahaman yang kemudian di transformasikan ke hati. Jadi, sebenarnya hatilah yang memahami bukan otak. Kenyataan ini kabur dari pemahaman banyak orang.
Oleh karena sifatnya yang robbany (bersifat ketuhanan) ruhany (bersifat halus seperti ruh) maka tak berlebihan bila Nabi dengan tegas menyatakan; tanyakan hatimu!
Namun dewasa ini saya kemudian bertanya dalam hati, lantas kenapa ada segelintir orang yang dengan dalih mengikuti kata hati, nyata-nyata telah salah jalan. Sebut saja aliran-aliran sesat yang akhir-akhir ini banyak menghiasi pemberitaan di media. Ada semacam paradoks dalam kaitan ini yang mendesak adanya sebuah pencerahan.
Jawabnya pasti tak sederhana, sebelumnya harus kita pisahkan dulu makna hati, dan hawa nafsu. Sering kata hati dijadikan tumbal saat seseorang mengejar ambisi nafsu-emosinya. Bisikan hati acapkali dijadikan kambing hitam dalam upaya mewujudkan keinginan kotornya. Tak pelak orang cenderung berkilah saat dia salah dengan slogan entengnya "saya hanya mengikuti kata hati pak".
Konotasi hati yang memberi kita pengertian akan sebuah kemurnian, kebersihan, jauh dari kesan manipulasi, intimidasi dan distorsi, kerap menjadikan kita terpedaya dan tak sanggup memilah antara yang betul-betul kata hati atau emosi belaka.
Sedemikian canggihnya makhluk ciptaan Allah yang satu ini, membuat kita sering merasa menjadi makhluk terlemah dan tak kuasa melawan diri. Hati telah mempermainkan manusia sedemikian rupa, sehingga tanpa dia delivery sebelumnya, manusia bisa merasakan senang, sedih, kecewa, bahagia, marah, iba dan centeng-centengnya.
Bahkan beberapa pakar filsafat dan tasawuf telah menuliskan karya-karyanya dalam berjilid-berjilid buku, hanya untuk mengungkap apa rahasia hati. Semisal Al-Ghazaly dalam Ihya Ulumudien, Abu Thalib Al-Makky dalam Qut Al-Qulubnya, Ibnu Al-Jauzy dalam Al-Latha’if dan masih banyak lagi.
Tak dipungkiri lagi, semua ini bermuara pada ungkapan seorang teragung di planet bumi dan tak pernah dikenal sebagai pembohong sejak masa kanak-kanak Muhammad SAW yang memberi statement dasar bahwa hati ada di antara dua telunjuk Tuhan. Tuhanlah yang membuatnya berubah-rubah, maka tak heran bila hati menjadi bagian terpenting manusia, bahkan ada prakata tak bisa disebut manusia bila tidak punya hati.
Tajamuk Khomis, New Cairo.
15 Pebruari 2009 M
Tags :
Refleksi
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments