15-16 Maret 2009, PPMI bekerja sama dengan beberapa kelompok kajian, SASC dan Ghazalian Center mengadakan acara workshop yang diberi tema “Pemikiran Politik Islam Kontemporer” yang mengambil tempat di pesanggrahan KPMJB.
Acara yang pada hari pertama menghadirkan narasumber-narasumber Mesir dan hari kedua diisi oleh beberapa narasumber lokal ini, berlangsung meriah.
Ahmad Thabrani Basya, pegiat rumah budaya Akar yang sangat familiar, membuka acara tersebut dengan pembacaan puisi yang bertema “Pemilu”. Kemeriahan pemilu yang tak diimbangi dengan pendidikan politik yang memadai menjadi bidikan utama dalam puisi tersebut.
Sebelum Narasumber pertama menyampaikan makalahnya, seluruh anggota workshop melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Untuk makalah pertama yang mengacu pada isu-isu kelompok yang muncul dalam Islam, disampaikan oleh seorang pakar politik Timur-tengah sekaligus ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Mesir, Jend. DR. Husein Syarief Abdul Sami’. Beliau termasuk pengamat yang concern mengkaji perkembangan pergerakan Islam, khususnya di Timur-tengah.
Beliau berasumsi bahwa pergerakan Islam yang sempat vakum akibat runtuhnya Khilafah di Turki 1944 M bisa diidentifikasi kembali kemunculannya mulai 1970-an, di mana geliat keagamaan mulai terlihat di kalangan umat Islam.
Dari sisi sosial misalnya, bisa kita saksikan dengan menjamurnya pembangunan Mesjid-mesjid, berdirinya Yayasan-yayasan keagamaan seperti Tahfidz Al-Qur’an sampai pemberian Ifthar (buka puasa Cuma-cuma).
Sementara dari sisi pemerintahan dan birokrasi sudah mulai diselipkan hukum perundangan Islam, semisal Ahwal Al-Syahksiyah (hukum perdata) perundangan keluarga sesuai syariat Islam. Hingga isu paling hangat masa itu: Islam adalah agama sekaligus Daulah, Negara.
Disayangkan memang, karena bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran keagamaan yang telah lama tenggelam ini, harus muncul beberapa pergerakan Islam yang tergolong radikal, dan kelompok ini tak bisa dibilang sedikit.
Bahkan jika umat Islam tidak bisa membaca secara cermat kemunculan mereka, akan membawa malapetaka yang bisa mengancam eksistensi umat Islam itu sendiri.
Beliau mengambil sempel dari gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, meski telah banyak memberi sumbangsih terhadap kemajuan umat. Organisasi besutan Hasan Al-Banna ini telah melahirkan sempalan-sempalan yang sangat meracuni umat Islam. Semisal IM yang berada dibawah komando Syukri Musthafa, organisasi “haram” ini mendapat label abadi sebagai Jamaat Al-Takfir (kelompok yang mudah mengkafirkan orang lain).
Pernyataan Syukri Musthafa “Siapa saja yang taklid maka dia kafir”, telah menjadi dogma bagi pengikutnya, sehingga mereka beranggapan bahwa siapapun yang taklid pada madzhab empat berarti halal darahnya.
Lebih lanjut, pria yang mengaku mendapatkan gelar license-nya dari universitas Ain Syams Kairo jurusan hukum ini banyak mengupas devinisi sampai corak dari masing-masing kelompok pergerakan Islam.
Tak lupa, beliau memberi solusi yang bisa dipakai guna meminimalisir pergerakan Islam garis keras. Dialog dan lobi masih menjadi solusi utama menurutnya, tak kalah penting adalah sosialisasi Islam yang ramah, humanis dan penuh toleransi harus menjadi prioritas utama setiap elemen umat, terutama para ulama’.
Meski tak sanggup berbahasa Arab Fusha dengan baik, namun penyampaian beliau cukup memuaskan peserta workshop. Sebab acapkali beliau menanyakan, apakah penjelasannya sudah cukup dipaham? Bila tidak, beliau dengan senang hati akan mengulanginya.
Adalah DR. Ahmad Shafsafi, pakar bahasa sekaligus kebudayaan Turki, menjadi pembicara kedua. Pria Mesir kelahiran 1940 yang pernah tinggal selama 5 tahun di Turki ini, memang khusus didatangkan Panitia sebagai pemakalah yang akan merunut peta keagamaan dan perpolitikan yang semakin memanas di Turki.
Seperti banyak disorot media internasional, Turki telah menjelma sebagai kekutan baru perpolitikan dunia, ia seperti menjadi ancaman bagi Barat namun juga harapan bagi Timur. Keberanian PM. Rajab T Erdogan, menunjuk A. Sharon sebagai gembong Teroris di muka umum, menjadikan popularitas negeri bekas khilafah Ottoman ini semakin bersinar.
Shafsafi yang memulai makalahnya dari Dinasti Saljuk (1037 M) yang terbentang dari Anatolia hingga ke Punjab di belahan selatan asia sebagai cikal bakal sejarah Turki Islam, berargumen bahwa konstribusi bangsa Turki terhadap Islam sangatlah besar. Saljukiyah misalnya telah berjasa menjadi benteng kekuatan Islam di Barat dari serangan kaum Salibis. Dasar Negara Saljuk yang dibangun berdasarkan tasamuh (toleransi) dan keadilan, membuat semua pemeluk agama hidup bersebelahan secara harmonis.
Sebagaimana juga Ottoman (Ustmani) telah menyumbangkan nyawa ribuan tentaranya dari gempuran tentara Salib.
Jadi, jika melihat rentetan sejarah sebelum terjadi revolusi modern Turki yang dipimpin Musthafa Kamal Attaturk. sebenarnya keislaman bangsa Turki termasuk matang dan mengakar. Tak heran, bila kemudian setelah bangsa Turki bersujud di bawah sistem sekuler, semangat keislaman mereka sama sekali tidak luntur.
Melalui gerakan bawah tanah kaum Sufi, masyarakat bisa tetap meneguk selaksa ajaran-ajaran Islam meski itu secara diam-diam. Aliran Naqsabandy yang terbanyak pengikutnya di Turki telah berhasil melestarikan agama dan berhasil mengeluarkan kader-kader pemimpin masa depan.
Shafsafi menyimpulkan, bahwa konsep sekuler yang dianut warga Turki mempunyai pemahaman berbeda. Almaniyah, Sekularisme Turki bukan pemisahan agama dari kehidupan Masyarakat. Tapi, pemisahan agama dari kantor-kantor birokrasi, dan sekolah-sekolah.
Dengan target utama menghapus Bahasa Arab dan Al-Qur’an dari kehidupan warga, Sekularisme Turki bisa dibilang gagal total. Bahkan mereka semakin kehilangan simpati masyarakat.
Menurutnya, Badi Al-Zaman Sa’id Al-Nursi adalah tokoh paling berpengaruh dibalik pertahanan kaum Islamis, Al-Nursi adalah dalang di belakang gerakan Islam modern di Turki. Sejumlah pemimpin negara tersebut, mayoritasnya adalah Sarjana-sarjana yang pernah mengenyam pendidikan dari Madrasah Rasail Al-Nur yang kesohor itu, Termasuk Rajab Erdogan sendiri.
Mereka adalah kelompok modernis Islam yang meyakini bahwa jargon-jargon keagamaan bukanlah prioritas utama untuk ditonjolkan. Sehingga tak heran, bila pemerintahan AKP (partai Keadilan dan Pembangunan) bisa duduk harmonis bersama kaum sekularis.
Tokoh-tokoh AKP menghindari sebisa mungkin terjadinya konflik dengan pihak Sekuler, mereka memilih memotivasi ritual-ritual keagamaan tanpa mengucapkannya di depan media. Semisal, para pejabat tersebut pergi bersama ke mesjid untuk sholat Jum’at.
Keberhasilan AKP memimpin perpolitikan di Turki dengan elegan, seakan telah menjadi sebuah tawaran baru bagi Negara-negara Islam lainnya. Sistem pemerintahan AKP dianggap sangat dinamis untuk dijadikan acuan dekade ini.
Meski begitu, mereka juga manusia yang tidak makshum dari kesalahan. Jadi, sudah semestinya kita kembali pada adigium yang mengatakan “Ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk” pesan Safsyafi diakhir makalahnya.
Tajamuk Khomis, Qahirah Jadidah
Tags :
Opini
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments