Negeri yang menjadi kiblat sholat bagi kaum muslimin di seluruh dunia karena letak Ka'bah yang tertanam di atas ubun-ubunnya, dan menjadi rujukan Sarjana-sarjana Barat dan Timur ketika mengambil sampel Negara Islam penganut madzhab Sunni. Inilah Negeri kaum borjuis modern, dengan kekayaan minyak yang melimpah ruah. Negeri yang dengan culas memandang sebelah mata tetangga-tetangganya yang kelaparan, dan membusungkan dada karena berhasil menjadi cukong abadi uwak Sam.
Sebuah institusi keagamaan yang menyebut diri Panitia Amar Makruf Nahi Munkar telah melakukan dakwaan terhadap seorang nenek berumur 70 tahun berkebangsaan Syria. Nenek tersebut dijerat hukuman pidana 4 bulan plus 40 kali jilid (pukulan dengan rotan) sebelum dipulangkan ke negaranya, hanya karena ketahuan mendiami sebuah rumah bersama dua orang pria muda.
Dua pria tersebut sempat melakukan pembelaan, dengan dalih; Pria pertama adalah anak susuannya dan kedua sebagai pengantar roti delevery. Namun akhirnya pembelaan ini ditolak karena tidak sanggup menghadirkan bukti dan saksi. Nenek 70 tahun itu akhirnya divonis bersalah.
Bila Mahkamah Amar Makruf Nahi Munkar mau berfikir secara logis, apa yang bisa diperbuat nenek-nenek berumur 70an. Berbuat mesum?, terlalu naif menuduh dia berbuat begitu.
Diskriminasi terhadap perempuan seperti ini sudah lumrah terjadi di Saudi. Perempuan-perempuan Saudi dipasung layaknya Iblis, tak ada seorangpun -selain mahrom- yang boleh melihatnya meski itu hanya wajah dan tangan. Mereka tak mau tau dengan perdebatan yang terjadi di kalangan ulama (klasik maupun kontemporer) tentang hukum pemakaian Cadar bagi kaum hawa. Padahal perdebatan tersebut, sebenarnya memberi indikasi ketidak harusan bagi perempuan untuk memakai cadar.
Ulama Wahabi (para pengikut Muhamad Bin Abdul Wahab) yang mendominasi kebijakan-kebijakan keagamaan kerajaan Saudi, cenderung menarik perkara yang furu'iyah ke ushuliyah, sehingga tak jarang hukum islam yang mestinya mengusung anomali "Rahmatan lil Alamin" menjadi sebuah hukum yang kejam, keji, kaku dan menyeramkan di tangan mereka.
Bahkan di sebuah media dotkom, www.islamonline.com, menurunkan berita kontroversial, ada seorang perempuan bercadar menjadi pembaca berita di salah satu stasiun TV lokal Arab Saudi. Meski kejadian ini banyak mendapat kecaman, bahkan dari ulama Saudi sendiri, tapi tetap ditayangkan.
Diskriminasi dan pemasungan kreativitas kaum hawa serta sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di sana memang banyak luput dari sorotan media internasional. Hal ini dikeranakan kuatnya cengkraman keluarga Saud terhadap media lokal. Hampir semua media lokal tak diberi ruang sama sekali untuk mengkritisi sistem kebobrokan pemerintah, mereka hanya bisa memuji dan bergenit-genitan terhadap Raja. Bahkan Amerika, yang berteriak lantang terhadap pelanggaran HAM, tak berkutik di hadapan Saudi. Sebab Amerika dan negara maju lainnya mempunyai ketergantungan terhadap pasokan gas.
Dua kasus di atas setidaknya membuka mata kita akan sebuah fenomena ketidakadilan yang diterima perempuan-perempuan muslim. Mereka tak ubahnya seperti burung dalam sangkar yang suatu waktu bisa dijual atau bahkan disembelih.
Ke mana perempuan-perempuan muslim yang biasa menghadiri peperangan bersama Nabi dan Sahabat-sahabatnya, seperti diungkap dalam buku-buku sejarah. Mengapa di era modern ini masih ada yang menerapkan sistem Jahiliyah, sistem pembodohan massal terhadap perempuan?.
Tags :
Budaya
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments