SELAMAT MEMBACA TULISAN SAYA, By Abdul Munim Cholil >>> Orang yang mencari "kecukupan duniawi" dengan cara mengumpulkan harta seperti memadamkan api dengan jerami (Bakr bin Abdullah), demikian statemen yang saya kutip dari kitab Ihya milik imam Al-Ghazali.

4/22/2009

thumbnail

Pemilu di Madura; Pesta Demokrasi Atau Bencana?

Demokrasi, mungkin sebuah kata yang masih asing dalam paradigma masyarakat Madura yang terkenal kolot, keras, namun sangat agamis. Mereka menjadi ikon keterbelakangan dan ketidakberdayaan di tengah kemelut modernisasi yang diusung masyarakat dunia.

Pasca pemilu 9 April lalu, masyarakat ikut merayakan pesta demokrasi ini, meski mereka sendiri tidak tau apa fungsi dan dampak yang akan terjadi selepas pemilu. Sebagaimana yang lalu-lalu, kondisi ekonomi dan pendidikan masyarakat tak akan ada perubahan yang signifikan. Mereka selalu saja dipecundangi para elit politik, diperas, dan diperalat akibat kebodohan.


Semestinya para tokoh di Madura, dari semua elemen masyarakat, bisa lebih cermat membaca situasi krisis ini. Namun seperti agen-agen matang kapitalis, para tokoh ini tak lebih dari lintah yang menghisap materi dan energi warga. Mereka sepertinya sangat paham bahwa pendidikan yang maju akan berdampak negatif pada kedudukan para tokoh ini.

Mewanti-wanti masyarakat dengan dogma-dogma beracun masa jahiliyah menjadi pemandangan yang biasa di madura. Persisnya "Jangan biarkan Masyarakat cerdas, sebab mereka akan menggugat". Sistem aristokrasi yang dijalankan para tokoh sangat manjur menundukkan 'keras kapala' warga. Dari satu sisi, Saya melihat hal ini positif bila diarahkan pada hal-hal yang positif pula, bukan malah dibuat 'sarana' yang merugikan warga.

Beberapa berita pemilu yang terus Saya ikuti, setidaknya ada 2 opsi yang Saya tangkap: 1. Kesadaran warga yang tak mau lagi diinterfensi oknum tertentu katika memilih, terbukti dengan melejitnya perolehan suara Gerindra dan Demokrat di salah satu kota yang menjadi 'sarang' Kyai. Di Bangkalan misalnya, dua Partai ini berhasil mengungguli Partai-partai berbasis NU, yang pada pemilu sebelumnya menang mutlak di daerah ini (baca jawapos 21 April 2009). 2. Beberapa kekhawatiran yang menggelayut di mata, Saya merasa prihatin atas aksi nekat beberapa Caleg yang gagal tidak terpilih, dengan mengerahkan masa menghancurkan kantor camat di Tanah merah-Bangkalan (baca surya.co.id 22 April). Tokoh-tokoh Madura, terlepas berlatar belaknag apa saja, harus ikut andil memajukan pendidikan berpolitik warga. Mereka harus lebih bisa bersikap arif menghadapi pemilu ini, bukan dengan kepala panas.

Kasus pembunuhan ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) desa Sendir Lenteng-Sumenep, Moh Hasyim, yang digorok hingga tewas. Pasti membuat miris para pambacanya (surya.co.id 22 April), tindakan bar-bar seperti ini memang dianggap banyak kalangan sudah mendarah daging dalam tradisi masyarakat Madura. Namun Saya mempunyai pandangan ke depan, bahwa tradisi Carok ini bisa dikerdilkan, asal semua lapisan masyarakat ikut andil dalam memarginalkan tradisi yang turut memberi kesan jelek pada warga Madura secara umum.

Mengapa dari tadi Saya seperti mengkambing hitamkan para tokoh? Hal itu bukan tanpa alasan, dalam banyak kasus, tokoh masyrakat (baca: Kyai) Madura sudah menjadi semacam pemegang otoritas mutlak dalam setiap tindak-tanduk masyarakat, dari mulai masalah yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Mereka adalah poros paling menentukan maju-mundurnya peradaban di Madura.

Bila tokoh masyarakat bisa lebih melek membaca posisi diri dan masyarakatnya. Saya yakin 10 tahun mendatang, kita bisa menyaksikan masyarkat Madura berdiri sejajar dengan kawasan lain di tanah air, baik dalam pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.

Paradigma dan antusiasme masyarakat terhadap para tokoh bisa menjadi sarana yang sangat berarti untuk perjalanan Madura ke depan. Tapi, kalau mereka (tokoh) belum juga sadar dan masih berkutat dalam dunianya, tanpa mau perduli dengan keadaan masyarakat, maka sulit mewujudkan impian-impian di atas.

Berkorban lebih banyak menjadi tuntutan yang tak bisa ditawar bagi tokoh-tokoh Madura. Sudah tak masanya lagi, menjadikan warga sebagai 'martir' yang hanya diambil manis sepah dibuang.

22 April 2009
Tajamuk Khomis, Qahirah Jadidah




Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

Cari Artikel saya

Anda pengunjung ke