Setiap dari mereka mempunyai hak privasi yang tidak boleh dicampuri, hak-hak inilah yang terkadang memaksa sebagian dari mereka untuk mewujudkannya meski harus mengabaikan atau bahkan menyakiti saudaranya sesama makhluk Tuhan.
Manusia memang mempunyai ego semenjak awal penciptaannya, sehingga tak heran bila psikolog atau filosof abad 19-awal 20an kerap menitik beratkan manusia pada sifat lahiriahnya ini. Tak aneh bila kemudian logika ini melahirkan sikap “curiga berlebihan” antara satu dengan lainnya, didasari prinsip bahwa “Bilapun mereka mengenyampingkan egoismenya, hal ini tak lebih dari sebuah kamuflase tersembunyi untuk mencapai tujuan pribadinya tadi” ungkap Freud.
Logika ini tak murni benar, atau bahkan salah kaprah. ia tak lebih dari kepanjangan dari teori Evolusi Karl Mark yang pada masa itu menjadi bacaan wajib para akademisi di Eropa dan banyak meracuni pola pikir beberapa pemimpin Negara di Asia.
Gugatan sederhana dari kesalahan teori ini mudah, semisal kasih sayang seorang Ibu terhadap anaknya. Tak satupun dari mereka berani mengatakan bahwa kasih sayang tersebut hanya sebuah kamuflase dan kepentingan pribadi si Ibu. Jadi, sebenarnya apa yang disebut keikhlasan dan ketulusan itu nyata ada. Teori inilah yang kemudian dikembangkan oleh banyak kalangan psikolog modern. Mereka dengan sangat jeli meriset dan menganalisa bahwa dalam diri manusia selalu ada dua unsur yang saling bertolak belakang, baik-buruk.
Energi positif diri, demikian teori ini kemudian dikenal. Berfikir secara positif dan melempar jauh racun-racun sifat kebencian, menjadi idaman tiap insan dewasa ini. Mereka sudah lelah bertikai, letih menyimpan kecuriga antara sesama. Apalagi energi negatif ini hanya membawa mereka pada perpecahan dan peperangan yang berkepanjangan. Tak salah kalau dari mereka ada yang berucap bahwa kecurigaan berlebih hanya membuang umur, kebencian dan amarah hanya mambuat umur lebih pendek.
Memang dalam banyak kasus dijelaskan, bahwa selain pola makan, pikiran tenang, selalu merasa bahagia, dan menikmati hidup dengan semestinya menjadi faktor yang tak kalah penting. Orang yang tinggal di desa misalnya, bisa berumur sampai 80-90 tahun, sedangkan mereka yang tinggal di kota relatif berumur lebih pendek.
Saya mempunyai nenek dan kakek yang masih hidup sampai sekarang, padahal dia sudah dikaruniai banyak cicit (bukan hanya cucu), Barangkali kesederhanaan berfikir, kesederhanaan pola makan, dan kesederhanaan cara hidup menjadi faktor utama mengapa mereka masih sehat meski sudah cukup umur. Padahal mereka tak ada aktifitas olahraga, maupun biaya untuk cek kesehatan seperti lazimnya orang kota.
Konsep sederhana dengan ambisi -sebagai manusia yang tamak- ditekan sedemikian rupa sehingga tidak pernah berhasrat untuk bisa mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan dalam kehidupan. Pikiran mereka terfokus pada kehidupan setelah dunia, yakni akhirat. Berarti mereka hanya sekumpulan manusia tak berguna? Tak ada ambisi, apa istimewanya?
Pernyataan di atas hanya banyolan penganut Marxisme yang banyak melahirkan bencana bagi kemanusiaan. Adalah salah besar, menuduh seseorang tak punya ambisi. Saya kira semua dari kita sepakat bahwa setiap manusia hidup pasti mempunyai cita-cita dan ambisi terlepas apapun profesi dan bagaimanapun strata sosial orang tersebut, meski memang frekuwensi ambisi dan cita-citanya beragam.
Saya melihat nenek saya, sebagai tipikal orang tua yang senang memberi dan berbagi dengan sesama. Beliau sangat antusias bila ada tamu yang datang apalagi kami (cucu-cucunya), beliau akan berusaha sebisa mungkin membuat tamu yang berkunjung nyaman, dan ingat, membuat nyaman tidak harus dengan hidangan yang mewah. Sambutan hangat dengan hidangan ala kadarnya sudah cukup untuk membuat hati tamu menjadi nyaman.
Suasana meriah dan obrolan hangat yang terpancar dari rumah sederhana nenek menjadi tempat favorit bagi para tamu, terutama kami cucu-cucunya. Mereka orang kampung ternyata lebih bisa mengartikan apa makna ambisi dan kebahagiaan. Sementara kaum Materialisme hanya bisa berkoar sana-sini tanpa bisa menghadirkan bukti teorinya secara nyata dan riil, mereka abai dengan apa yang disebut sebagai kebahagiaan ruhaniyah.
Menurut saya, bukan pekerjaan mudah untuk bisa membuat orang lain nyaman, senang, dan bahagia. Ini sebuah pencapaian yang tak bisa diukur secara materi. Akan sulit untuk bisa mendapatkan manusia yang punya karakter sepeti nenek. Dan perlu dicatat, bahwa penghormatan terhadap tamu dengan tujuan membuat orang lain bahagia termasuk sebuah ambisi bukan sekedar keterpurukan seorang pecundang, seperti yang diungkap kalangan Marxis.
Saat ini kita sangat membutuhkan manusia-manusia yang mempunyai hati seperti ibu dan berjiwa sosial tinggi seperti nenek. Di tengah kehidupan yang serba materialistik, manusia-manusia agung ini sama persis dengan sumber mata air di tengah gurun yang keberadaannya selalu dicari dan dibutuhkan orang.
Nenek meski hidup sangat sederhana tapi naluri beliau untuk selalu berbagi tak terperikan. Acapkali, ketika saya berkunjung ke rumahnya, beliau selalu menyambut saya -cucunya- dengan muka yang berseri-seri. Tak hanya itu, sebelum saya pamit pulang, biasanya beliau selalu menyelipkan uang meski tak seberapa nilainya.
Bagi saya, nilai sebuah materi sama sekali tidak penting. Ungkapan nenek “Ini ada sedikit uang buat beli es di jalan” tak bisa dinilai dengan apapun, bahkan lebih romantis kecupan Majnun-Laila dalam syair-syairnya.
Saya tak pernah tau apa sebenarnya yang ada dalam pikiran wanita tua renta ini, jiwa asihnya seakan tak pernah lekang oleh goresan zaman yang jauh lebih tua darinya. Sebatas pembacaan saya, beliau ingin agar anak-cucunya bisa mempunyai sifat-sifat terpuji seperti yang beliau contohkan dan sama sekali tak ingin menularkan virus-virus kebencian pada generasi penerusnya.
Alangkah indah perangai dan akhlak wanita tua ini. Seandainya bisa menghiasi pribadi tiap orang, saya yakin kita tidak butuh lagi badan perdamaian PBB dunia. Sebenarnya nilai-nilai luhur inilah yang mau ditularkan oleh Al-Qur’an melalui Rasul SAW dan para Sahabatnya.
Ar-Rahman, Sang Pengasih, adalah satu dari nama-nama Tuhan yang sedianya ingin mengajarkan umat manusia pada sikap welas asih. Ar-Rahim, Sang Penyayang, supaya umat manusia bisa berdampingan tanpa melihat ras, suku, bahasa, dan warna kulit serta agama. Menjauhi rasa benci dan hanya mendasari kesehariannya dengan sifat Rahman-RahimNya.
NB: Tulisan ini saya dedikasikan buat nenek saya: Hajjah Zuhrah, Hajjah Zubaidah puteri-puteri Kyai Muhammad Fadlil (yang kesemuanya telah wafat), nenek saya yang tinggal di Timur Gunung (masih hidup dan sehat) dan untuk semua nenek-nenek yang ada di planet bumi, I love you my all Grannies.
30 April 2009
Tajamuk Khomis, Qohirah Jadidah
Tags :
Refleksi
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments