SELAMAT MEMBACA TULISAN SAYA, By Abdul Munim Cholil >>> Orang yang mencari "kecukupan duniawi" dengan cara mengumpulkan harta seperti memadamkan api dengan jerami (Bakr bin Abdullah), demikian statemen yang saya kutip dari kitab Ihya milik imam Al-Ghazali.

1/27/2010

thumbnail

Tarian Gaudy Old Style untuk Gus Dur

Waktu itu saya menghadiri sebuah diskusi reguler SAS Center yang digelar sebulan dua kali. Salah seorang presentator menulis sebuah artikel tentang tasawauf (saya sudah lupa judulnya) dengan menggunakan font Gaudy Old Style. Saya sendiri takjub dengan tampilan elegan dan apik font ini. Sesampai di flat, saya langsung membuka laptop dan mencari: kira-kira font apa yang dipakai kawan saya itu? Ternyata Gaudy Old Style. Sampai detik ini, saya masih merasa nyaman menggunakan font ini, meski terlihat irit dalam spasi sehingga tulisan yang seharusnya sudah penuh satu halaman jika memakai Gaudy Old Style akan tampak setengah halaman. Tapi bagi saya, setidaknya tak membuat bosan dan melelahkan ketika membaca. Bahkan beberapa artikel Gus Dur yang saya koleksi dalam format Notepad, ketika ingin kembali membaca saya segera mengcopynya terlebih dahulu di Microsoft Word dengan pilihan font Gaudy Old Style. Tentunya setiap orang mempunyai pilihan masing-masing, seperti Brad Pitt yang merasa nyaman dengan pasangannya, Angelina Jolie.
Semenjak wafatnya Bapak Demokrasi dan Pluralisme Indonesia (meminjam istilah SBY), saya semakin dibuat penasaran dengan sosok nyentrik ini. Gus Dur yang semasa hidup sering melawan arus dan tradisi dengan ide-ide ‘gila’ tentunya, telah menyita perhatian media, baik lokal maupun internasional, hampir sebulan penuh. Bahkan hampir semua tokoh internasional turut berduka dan merasa kehilangan dengan wafatnya mantan Presiden RI ke 4 tersebut, beliau seperti keluar dari kodratnya sebagai cucu seorang ulama besar Nusantara, menjadi tokoh yang disegani sekaligus disukai semua golongan tanpa melihat setatus agama, bahasa, dan ras tertentu. Gus Dur adalah tokoh multidimensi yang mendunia dan terbukti sanggup menerobos sekat-sekat dunia Pesantren yang membesarkannya. Wafatnya Gus Dur, bagi saya memberi kenangan tersendiri yang cukup menggelitik. Pasalnya, saya yang sore itu berkunjung ke rumah seorang karib yang kebetulan seorang aktivis HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), sambil tertawa dia menyodori saya sebuah sms “Alhamdulillah khilafah akan segera berjaya di Indonesia, karena satu dari pejuang demokrasi sudah mati (Gus Dur) sore ini.” kira-kira demikian bunyi sms itu. Dua hari setelahnya, PCINU Mesir segera memaklumatkan pada warganya untuk melaksanakan shalat ghaib bersama di Griya Jawa Tengah. Saya kembali terkaget, katika salah seorang pentolan Kifayah (salah satu anak organisasi yang bernaung di bawah Persis) menyapa di tengah perjalanan, dan di sela obrolan basa-basi kami dia sempat menyinggung wafatnya Gus Dur, tentunya dengan senyum simpul terselip di bibirnya. Ternyata sampai meninggalpun seorang Gus Dur masih menyisakan sejuta kisah untuk dikenang, termasuk bagi saya; pengagumnya. Bagi saya wafatnya tokoh ini adalah petaka, mungkin bagi yang lain bisa jadi dianggap sebagai “berkah”, termasuk beberapa kelompok yang mempunyai kepentingan menancapkan ideologi anti demokrasi seperti yang saya sebut tadi. Gus Dur memang bukan manusia sempurna tanpa cacat dan cela, tapi setidaknya beliau sudah mengajarkan kita banyak hal (silahkan baca kembali artikel-artikel yang pernah ditulis oleh Gus Dur). Setiap orang bebas berpendapat mengenai figur eksentrik Gus Dur. Apabila ada nilai-nilai positif yang diperjuangkannya sudah selayaknya kita lestarikan, sebaliknya kalau ada yang dirasa tak sesuai dengan cita-cita luhur keutuhan berbangsa dan bernegara harus segera kita campakkan. Kita bangga dengan keislaman kita, namun bukan berarti semua harus diislamisasi. Kebebasan beragama yang dijamin dalam undang-undang dasar NKRI sudah cukup. Bagi seorang muslim sejati, agama terlalu sakral untuk diformalisasi. Ketika rukun Iman dan Islam yang diyakini bisa ia jalankan dengan hati ikhlas, damai, dan dibumbuhi toleransi maka negara itu sudah cukup untuk kita sebut “negara Islam”. Kalaupun dalam Islam dikenal konsep jihad, maka kita harus cermat memahaminya. Karena makna Jihad sesungguhnya adalah merengkuh kebebasan beragama kita, bukan memaksakan agama kita agar dipeluk orang lain. Goresan tinta emas sejarah adalah saksi: bahwa Nabi dan sahabat tak mengangkat bendera Jihad kecuali untuk tujuan merebut kembali kebebasan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai muslim yang taat. Di saat hak-hak itu telah kembali, maka Islam segera menjadi simbol agama paling toleran di dunia. Sebagai bukti, banyak situs dan peninggalan kaum pagan yang bisa kita saksikan di bumi-bumi taklukan Islam, bukan dengan berulah melempar granat dan bom bunuh diri ingin menghancurkan simbol dan jargon keagamaan atau bangsa lain. Mungkin itu hanya satu dari sekian pesan yang saya tangkap dari sosok Gus Dur. Pluralisme yang diperjuangkannya mengakar kuat pada kecintaannya terhadap negeri “gemah ripah loh jinawi” ini. Beliau tak ingin bangsa yang telah berhasil merebut kemerdekaannya dengan cucuran keringat dan darah pejuang yang mati syahid, akhirnya akan ambruk dalam keranda-keranda kelompok dan aliran yang saling tikam. Kemajemukan dengan masyarakat yang heterogen di negeri ini harus dijaga, jangan sampai ada “tangan-tangan jahil” menggilasnya, meski dengan alasan apapun (termasuk formalisasi syariat). Kecanggihan tekhnologi dan pesatnya informasi sudah selayaknya dijadikan pelajaran bahwa kita tak lagi hidup di ‘jaman Onta atau Kuda’. Merupakan sebuah ironi atau bahkan ilusi ketika kita mengimpikan sebuah komunitas Islam yang terlepas dari kemajemukan bangsa-bangsa di dunia, semisal dalih mendirikan Khilafah yang ekslusif. Kita hidup dalam era kebebasan dan keterbukaan, semuanya bisa diwujudkan tanpa harus memperjual belikan agama yang suci. Bahkan jika ada seorang muslim merasa ditindas dan diperkosa hak-haknya, ia bisa berteriak sekencangnya dan dalam hitungan detik dunia akan segera memberitakannya. Negeri ini terlalu muda untuk kehilangan sosok Gus Dur, semoga di masa mendatang akan lahir ribuan atau bahkan jutaan Gus Dur yang turut mamperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan toleransi. Semoga arwah Gus Dur mendapat siraman rahmatNya dan diampuni segala dosa yang diperbuat, amin. Tajamuk Khomis 28 Januari 2010

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

Cari Artikel saya

Anda pengunjung ke