SELAMAT MEMBACA TULISAN SAYA, By Abdul Munim Cholil >>> Orang yang mencari "kecukupan duniawi" dengan cara mengumpulkan harta seperti memadamkan api dengan jerami (Bakr bin Abdullah), demikian statemen yang saya kutip dari kitab Ihya milik imam Al-Ghazali.

8/25/2010

thumbnail

Pesona Perpustakaan Islam Klasik

“Buku serupa penghibur yang tak akan datang saat kau sibuk. Tak suka basa-basi membuang waktu. Buku adalah kawan yang tak akan menyakitimu, kawan yang tak akan menipumu, kawan yang tak hanya memanfaatkanmu. Buku adalah penasehat tanpa melecehkanmu”. Demikian ungkap salah seorang cendikiawan muslim masa silam, Ahmad bin Ismâil. Di sini, penulis tak hendak mengajak pembaca bernostalgia dengan kemegahan peradaban Islam klasik semata. Namun lebih tertarik pada adagium raksasa pemikir Mesir, Abbas Mahmud Al-Akkâd, yang pernah menulis “Perpustakaan adalah simbol kemajuan peradaban sebuah bangsa”, sekaligus berharap bisa menginspirasi pembaca tentang urgensi kepustakaan dalam membentuk peradaban. Seperti yang kita pelajari semasa sekolah dasar, bangsa Sumeria (abad 6 SM) adalah bangsa pertama yang mengenal seni baca-tulis. Demikian pula seni mengumpulkan data, informasi, dan dokumen penting lainnya. Setidaknya penemuan arkeologi dari kota-kota kuno bangsa ini telah menegaskan bahwa bangsa Sumeria kerap mengabadikan catatan perundangan, teologi, sejarah, dan legenda pada lempengan batu liat, yang tersimpan rapi di salah satu kuil di Mesopotemia. Bahkan di perpustakaan Ashurbanipal saja terpendam lebih dari 30.000 tablet tanah liat. Dari Yunani kuno, kita dikenalkan pada beberapa pustakawan: diantaranya ada Polycrates, sang Raja tiran yang menjajah Athena. Selain Raja dia juga kolektor buku. Euripedes, sang penyair yang gila buku. Dan tentunya Aristoteles sendiri, sang Failasuf. Di Barat, perpustakaan pertama didirikan oleh Julius Cesar, kaisar Romawi, yang mengaku banyak terinspirasi oleh apa yang dia saksikan di Yunani dan Alexandria. Ia kemudian berinisiatif mendirikan beberapa pusat bacaan (perpustakaan), yang membentang di seantero negeri Romawi: mulai dari perpustakaan Porticus Octaviae -dekat teater Marcellus-, kuil Apollo Platinus, hingga Capitoline Hill. Konon, sikap Cesar ini adalah bentuk permintaan maafnya pada ratu Alexandria masa itu, Celeopatra: karena telah ceroboh membakar lebih dari 400.000 koleksi buku yang tersimpan di perpustakaan Alexandria, saat negeri itu ditaklukannya. Sementara Cina, sebagai salah satu bangsa tertua juga tak mau ketinggalan. Pada masa kekaisararan Qin (abad 3 SM), perpustakaan menjadi saksi kemegahan peradaban yang mereka bangun. Meski sistem klasifikasi buku, baru dipraktekkan oleh dinasti Han (abad 2 SM) yang datang setelahnya. Pada saat itu, katalog perpustakaan ditulis pada gulungan sutera yang disimpan dalam kantong terbuat dari kain sutera pula. Dalam sejarah Islam, kegemaran mengoleksi buku tak hanya menjangkiti kalangan borjuis dan penguasa, tapi juga rakyat jelata. Barangkali risalah Islam yang bermula dengan turunnya surat Iqra’ telah mengilhami khalifah dan rakyatnya untuk bersama menggemakan budaya baca. Sehingga mereka seperti ‘keranjingan’ untuk mengoleksi buku-buku, yang dianggapnya unik dan berkualitas tinggi. Bahkan ketika tentara Romawi berhasil diusir dari kawasan Kostantinopel dan sekitarnya, yang pertama kali dijadikan syarat pelepasan tawanan oleh khalifah masa itu adalah dengan barter buku-buku Yunani, yang selama ini hanya menghiasi ruang pribadi para raja atau tersimpan di rak-rak buku gereja. Perpustakaan Islam klasik bisa diklasifikasi dalam dua macam: pertama milik pribadi atau perorangan, kedua milik negara yang lazimnya didirikan bersebelahan dengan lembaga lainnya, semisal mesjid atau sekolah. Meski disebut milik pribadi tapi perpustakaan Islam masa itu bisa diakses layaknya fasilitas umum. Pustaka pribadi milik Ali bin Yahya bin Al-Munajjim yang berlokasi di perkampungan Karkur kawasan Baghdad misalnya, berhasil menjadi favorit pecinta ilmu yang datang dari seluruh penjuru negeri. Fenomena ini tak lepas dari pelayanan istimewa yang memanjakan pengunjung; selain dibebaskan membaca, menyunting, menyalin, pengunjung juga mendapat beasiswa dan fasilitas penginapan sehingga tak disibukkan dengan pekerjaan lain. Untuk perpustakaan umum, khalifah atau penguasa akan menunjuk seseorang untuk menjadi direktur perpustakaan (khâzin al-Maktabah), yang mengkoordinir kepala bagian tertentu. Sebab perpustakaan masa itu sudah cukup sistematis: di sana ada bagian percetakaan (dengan cara menyalin teks karena memang belum ada alat cetak), penjilidan untuk menjaga keutuhan buku, dan bahkan cleaning service sendiri. Setiap perpustakaan, baik besar maupun kecil, telah menyiapkan katalog lengkap yang memudahkan pengunjung untuk mengakses buku yang sedang diperlukannya. Mungkin yang paling mengesankan dari pelayanan pustaka era itu adalah fasilitas beasiswa yang sangat memanjakan pengunjung. Di masa kini, hampir tak dapat kita temui perpustakaan dengan fasilitas semacam itu. Perpustakaan Bait al-Hikmah Baghdad Di sini penulis hanya akan memotret perpustakaan terbesar yang melahirkan cendikiawan Muslim masa keemasan. Mungkin yang paling layak disebut pertama kali adalah Bait al-Hikmah di Baghdad, ibu kota daulah Abbasia. Ketika khalifah Al-Mansûr (170 H) berkuasa, manuskrip-manuskrip yang dikoleksinya sempat membuat sesak istana khalifah. Sampai kemudian keponakannya, Harun Al-Rasyid, naik tahta. Al-Rasyid-lah yang kemudian berinisiatif untuk mengeluarkan buku dan manuskrip dari dalam istana dan membangun perpustakaan yang bisa dinikmati oleh khalayak umum. Ia kemudian diberi nama Bait Al-Himah. Inilah perpustakaan pertama dan terbesar dalam sejarah bangsa Arab-Islam. Dalam Bait al-Hikmah, ada semacam stand khusus terjemah manuskrip kuno dari Yunani, Romawi, dan Persia. Megaproyek ini dikomandani oleh Yuhana bin Masawiyah, yang diprioritaskan untuk menterjemah teks-teks Suryani ke dalam bahasa Arab. Adapun teks-teks Persia yang mengupas tentang ilmu filsafat dan astronomi diterjemah oleh Abu Sahl al-Fadl bin Nubikht, sebagai penerus proyek Ibnu al-Muqaffa’. Saat al-Rasyid tutup umur, Al-Makmun putera beliau yang melanjutkan roda pemerintahannya, tak mau kalah untuk berkonstribusi mengembangkan Bait Al-Hikmah. Ia mengirim beberapa pakar ke Asia Tengah, India, Ethiopia, dan kawasan Kaukasus untuk mendapat tambahan koleksi perpustakaan negara. Konon, untuk terjemah dari Yunani ke Arab saja, pemerintah menghabiskan dana sekitar 300 ribu dinar. Perpustakaan Al-Azîz Billah Kairo Dinasti Fatimiyah yang berdiri di Kairo bisa dibilang sebagai sebuah negara otonomi Abbasiyah. Bahkan dianggap akan menggoyah eksistensi Abbasiyah di Baghdad. Tak hanya persaingan politik dan madzhab yang menghiasi perjalan dua dinasti Islam tersebut, tapi juga budaya dan pemikirannya. Meski secara historis, dinasti Fatimiyah relatif lebih muda 1 ½ abad dari Abbasiyah yang berdiri pada abad kedua, tapi kebijakan Fatimiyah tak kalah bersaing dari induknya. Perpustakaan ini didirikan oleh khalifah Al-Aziz Billah (365 H) setelah naik tahta menggantikan ayahandanya, Al-Mu’iz Lidinillah. Awalnya perpustakaan ini hanya berawal dari hobi baca sang khalifah, yang tak segan membelanjakan hartanya demi sebuah buku yang sedang diburu. Konon setiap kali khalifah Al-Aziz menemukan sebuah buku yang ‘menyihir’nya, dia akan segera menyuruh nussakh untuk menggandakan. Bahkan kitab al-Ainnya Al-Khalil Bin Ahmad saja digandakan sampai 30 eksemplar. Perpustakaan ini terus berkembang hingga koleksi buku yang ada mencapai jutaan. Menurut Dr. Musthafa al-Siba’i jumlah berkisar antara 1-2 juta kolesksi buku. Jangan dikira koleksi buku yang ada saat itu hanya sebagai ekspresi bangga diri dan persaingan politik semata layaknya masa dinasti Ustmaniyah, tapi khalifah Al-Aziz Billah benar-benar seorang penguasa yang memiliki perhatian khusus pada buku. Ibnu Khalkan bercerita bahwa sang khalifah kerap keluar masuk perpustakaan, mengawasi sendiri koleksi buku-bukunya, dan bahkan berjam-jam membaca dan mendiskusikannya pada para penasehat dan ilmuwan yang sengaja diundangnya ke Kairo. Perpustakaan Al-Zahra’ di Cordoba Spanyol Ketika dinasti Abbasiyah berhasil menggulingkan Umawiyah (132 H), di saat yang sama beberapa penguasa Umawiyah yang melarikan diri berhasil membuka dunia baru, Maroko-Spanyol. Diantara pemimpin Umawiyah yang paling fenomenal adalah Abdurrahman Al-Dâkhil. Semenjak Andalusia ditaklukkannya, para penguasa Umawiyah seperti ‘mendapat angin’ untuk mempertahankan eksistensinya, di Andalusia inilah mereka membangun peradaban baru. Masa keemasan Andalusia dapat disaksikan ketika khalifah VIII, Abdurrahman Al-Nâshir, naik tahta. Andalusia menjadi kiblat ilmu, seni, dan sastra dunia. Al-Nâshir menjadi sosok di balik kejayaan Andalusia, ia berhasil mendidik putera mahkotanya menjadi pribadi yang cinta ilmu. Al-Mustanshir, gelar itulah yang disematkan pada putera mahkota. Di masa kepemimpinan Al-Mustanshir, perpustakaan ini didirikan. Para pakar kepustakaanpun dikumpulkan dari seluruh penjuru negeri untuk mewujudakan pelayanan terbaik buat rakyatnya. Ada cerita menarik ketika Al-Mustanshir mendengar bahwa di Baghdad ada sebuah buku baru – tepatnya Al-Aghâni karya Al-Ashbihâni-, dengan serta merta ia mengirim 1000 dinar emas demi mendapat salinan nuskhah kitab Al-Aghâni tersebut. Saat itu pula buku tersebut bisa dinikmati di Andalusia sebelum warga Baghdad bisa menikmatinya. Ada yang membedakan tradisi perpustakaan di Timur (meliputi Baghdad, Kairo, dan sekitarnya) dan Barat (Spanyol, Maroko). Pertama jika di Baghdad menterjemahkan literatur kuno ke dalam bahasa Arab, maka di Còrdoba menterjemahkan teks-teks buku berbahasa Arab ke bahasa Latin. Kedua para ilmuwan muslim di Baghdad sibuk menyelami literatur-literatur klasik untuk memperkaya khazanah Islam, sementara di Còrdoba ‘melompat jauh’ untuk memperkenalkan literatur Arab-Islam pada bangsa Eropa, yang waktu itu masih mempelajari spirit modernitas ala Islam Còrdoba. Ketiga di Baghdad peran perempuan dalam dunia pustaka terpinggirkan, namun di Còrdoba cenderung lebih perduli jender: tercatat lebih dari 170 wanita bertugas sebagai penulis dan penterjemah di perpustakaan Al-Zahrâ. Pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab adalah: ke mana khazanah kekayaan Islam masa lalu itu? Setidaknya kita bisa mengungkap dua faktor untuk menjawabnya: Pertama faktor internal, di mana kaum muslimin masa itu sudah tak berdaya dan termakan oleh politik yang memecah belah. Sehingga syahwat kekuasaan lebih mendominasi, pendidikanpun terbengkalai: akibatnya koleksi buku di perpustakaan banyak tak terawat atau bahkan dijual murah dan covernya dibuat pelapis sendal. Kedua faktor eksternal, meliputi 1. Agresi Tar-tar yang membumi hanguskan Baghdad. Koleksi buku Bait Al-Hikmah banyak dibuang ke sungai Furat dan Tigris 2. Gelombang perang Salib yang berakhir dengan runtuhnya dinasti Umawiyah di Andalusia. Koleksi buku umat Islampun dihabisi, sehingga yang tersisa saat ini hanya beberapa koleksi di perpustakaan Escorial Madrid 3. Konflik antar madzhab; selain korban nyawa, karya-karya yang ditulis menurut ideologi masing-masing madzhab juga menjadi sasaran.

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

Cari Artikel saya

Anda pengunjung ke