SELAMAT MEMBACA TULISAN SAYA, By Abdul Munim Cholil >>> Orang yang mencari "kecukupan duniawi" dengan cara mengumpulkan harta seperti memadamkan api dengan jerami (Bakr bin Abdullah), demikian statemen yang saya kutip dari kitab Ihya milik imam Al-Ghazali.

8/28/2010

thumbnail

Purifikasi Agama; Sebuah ‘Laku Mengangkangi Agama’

Setiap kelompok yang muncul dari masa ke masa, sejatinya adalah reaksi untuk menjawab problematika kekinian” [Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya] Purifikasi agama sebuah terma menggiurkan, mendendang di telinga setiap muslim ghayyur (punya kepedulian lebih pada agamanya), dan membuat kita mengamini sebagai “misi suci”. Berawal dari asumsi “Islam yang terkontaminasi”, langkah purifikasi menjadi suatu keharusan. Di masa Ahmad Bin Hambal, persetubuhan Islam dan peradaban bangsa-bangsa adidaya masa lampau (Yunani, Persia, dan Romawi) mencapai titik yang mencengangkan. Filsafat sebagai produk Yunani telah demikian akrab dikaji oleh akademisi muslim kala itu. Islam sebagai agama yang inklusif, tak pernah menutup jendela peradabannya dari bangsa lain. Semenjak orasi nabi SAW “ Hikmah serupa harta temuan bagi setiap muslim, di mana dan kapanpun kalian temukan maka rengkuhlah” jendela itu masih [terus] terbuka lebar serta tak seorangpun berhak menutupnya. Al-Qur’an sendiri sebagai kitab suci umat ini, dengan cemerlang berhasil membuka mata bangsa Arab Badui yang kolot menjadi bangsa penakluk dengan misi damai. Kisah-kisah kejayaan umat masa lampau, baris-baris kata yang diarabisasi (musta’rab) dalam al-Qur’an, dll. secara tak langsung telah memancing bangsa Arab masa itu untuk berpetualang mencari tahu kebenaran kisah, maupun dari mana akar “kata asing” yang dimuat al-Qur’an. Namun kemudian akselerasi peradaban yang mengusung modernitas (setidaknya masa itu) ditengarai telah jauh bergeser dari Platform agama Islam awal. Ahmad Bin Hambal, raksasa ilmuwan Islam abad II, merasa terpanggil untuk mengambil sikap tegas guna purifikasi agama dari hal-hal bid’ah. Kemudian Ibnu Hambal mendapat perlakuan tak semena-mena dari penguasa Abbasiyah yang mendaulat ideologi Muktazilah sebagai ideologi resmi Negara. Konspirasi tokoh-tokoh Muktazilah dan penguasa masa itu mendakwa sekte lain, yang dirasa berseberangan dengan ideologi negara untuk diberangus. Ibnu Hambal bersikukuh bahwa al-Qur’an itu qadim (tak berawal karena kalam Allah), bukan hadist (baru) seperti yang diimani oleh negara masa itu, meski konsekwensinya ia harus dibui. Saat sejarah ‘dengan ringan membalik tangan’ dan Mutawakkil diangkat sebagai khalifah, kini giliran pengikut Sunni yang mendapat angin untuk melestarikan ajarannya. Muktazilahpun mendapat getahnya. Karya-karya spektakuler mereka diberangus habis, hingga mungkin yang tersisa hanya dalam hitungan jari. Politik selalu membutuhkan landasan ideologi untuk memantapkan kebijakan kenegaraan. Maka tak heran kalau dari masa ke masa -sepanjang sejarah Islam yang membentang- ideologi menjadi semacam martir bagi kepentingan politik oknum yang haus kekuasaan. Pembenaran ideologis terkadang senyawa dengan kepentingan politik, sehingga tercipta keharmonisan dua unsur yang sejatinya berbeda: penguasa yang gila jabatan dan agamawan yang silau dengan ideologinya. Ada benarnya bila seorang sejarawan menulis “Sejarah selalu mengulangi dirinya”, meski realita dan konteksnya berbeda. Di masa kini, kita dipaksa menonton parodi kelompok ekstrimis Islam (Wahhabiyah) yang kembali berdalih dengan gerakan purifikasi agama telah ‘bertindak aneh’ terhadap saudaranya sesama muslim. Mereka adalah generasi ‘culun’ Islam yang sok tahu mengenai Islam. Bagi mereka, Islam hanya tampil dalam satu wajah; Islam kita. Sementara yang lain, adalah bid’ah, syirik, bahkan kafir. Kelompok ini diidentifikasi kuat berafiliasi pada faham-faham konstruktif yang diusung Ibnu Taimiyah. Meski ketika ditelusuri lebih jauh, terkesan mencopot konstruks yang dibangun Ibnu Taimiyah secara parsial, sehingga bisa dibilang “Faham Taimiyah yang tak utuh”. Hal itu wajar saja, mengingat sosok Muhammad Bin Abdul Wahhab, sebagai pendiri Wahhabisme modern, sempat mendapat kontrak politik bersama King Saud, penguasa Nejd (Saudi Arabia). Setelah ditemukan sumber minyak terbesar dunia di Saudi Arabia. Negara yang awalnya hanya dihuni kabilah-kabilah yang bertebaran di gurun sahara semenanjung Arabia, kini menjelma menjadi salah satu negara terkaya dunia dengan petro dollarnya. Wahhabiyah seperti kejatuhan durian, mereka menjadi semakin bergairah melancarkan praktek-praktek keagamaannya. Bahkan ‘arabisasi Islam’ yang mereka usung mendapat respon yang cukup massif dari kalangan muslim abangan. Dengan dana melimpah dan gerakan terorganisir rapih, Wahhabisme pelan tapi pasti, sanggup bernyanyi merdu di tengah kegamangan umat muslim yang nyinyir menyaksikan dunia yang semakin hedonis. Jargon “purifikasi Islam” menjadi alternatif paling menggiurkan bagi mereka yang emoh mendalami Islam secara utuh. Konsep ketuhanan (tauhid) diacak-acak, sehingga di tangan Wahhabiyah serupa film kartun yang disukai anak-anak, remaja, dan orang tua. Asal tahu saja, di masa lalu kajian tauhid merupakan kajian yang sangat bergengsi dan menjadi salah satu ikon kematangan berpikir intelektual muslim. Namun sekarang, tauhid menjadi begitu mudah dan dangkal. Motif tampilnya Wahhabiyah, bagi penulis, merupakan bentuk pendangkalan agama itu sendiri. Selain purifikasi agama yang mereka tawarkan sebagai trademark (merek dagang), ada juga syahwat menghidupkan kembali tradisi berijtihad. Memang hampir semua muslim meyakini bahwa pintu ijtihad masih terbuka, dan setiap intelektual muslim selalu dituntut berkreasi sehingga sanggup menghadirkan Islam yang lebih dialogis dan ramah terhadap lingkungannya. Namun ‘fatwa serampangan’ yang didengungkan Nashiruddin al-Albani, seorang pendiri sempalan dari Wahhabiyah yang juga memiliki banyak pengikut, bahwa bertaklid pada Imam-imam madzhab merupakan tindakan bid’ah yang dilarang oleh agama, telah menimbulkan gejolak di kalangan umat Islam itu sendiri. Setidaknya, pengikut al-Albani akan mengklaim bahwa umat Islam sejak masa Imam Malik, Hanafi, Syafii, dan Hambali hingga kemunculan al-Albani, telah terjerumus dalam perilaku salah dan tak satupun dari jutaan umat Islam itu menyadarinya, absurd. Anehnya, tradisi ijtihad yang mereka koar-koarkan itu kembali hadir dalam satu peran antagonis; kebenaran hanya ada pada Imam-imam kami, yang lain salah. Terbukti, tak seorangpun dari pengikut Wahhabiyah yang berani mengkritisi [secara terbuka] Imamnya. Ini dilematis, dari satu sisi mereka menuduh pengikut madzhab sebagai pelaku bid’ah karena taklid dan di sisi lain mereka membebek murni pada Imam-imamnya. Ibarat pepatah Arab bilang “Membumi hanguskan seluruh kota untuk membangun sebuah istana.” sebuah sikap irasional. Konsep ijtihad ala Wahhabiyah juga masih ambigu. Kita lihat, meski motif kemunculan Muhammad Bin Abdul Wahhab dinilai sama dengan renaissance Muhammad Abduh di Mesir: purifikasi agama. Namun pisau analisis yang dipakai oleh kedua tokoh ini berbeda, bila Ibnu Abdul Wahhab selalu mengungkung pemahaman keagamaannya pada teks, maka Abduh lebih mengandalkan nalar logika. Hasilnya, yang pertama kaku, keras, dogmatis, pragmatis, dan statis, yang kedua lebih lentur, toleran, membaur dengan tradisi daerah, dan sanggup bersanding mesra dengan modernitas. Dalam memahami teks dibutuhkan analisa jernih sehingga tak terjerembab dalam ‘asumsi kosong’, karena teks tak selugu yang kita lihat. Sejatinya teks selalu berdialog dengan realitas sosio-kultural, sosio-politik, dan psikologi penulisnya. Ia tak sesederhana pembacaan awal kita, ia juga tak sekonyol idiom ‘cinta pada pandangan pertama’. Namun Wahhabiyah dengan misi pendangkalan agamanya, telah mencerabut teks dari konteks. Wahhabiyah kemudian mengiming-imingi pembaca dengan “Inilah agama Islam sebagaimana nabi SAW dan para sahabatnya”. Apalagi dalam metode dakwah, Wahhabiyah seperti tak pernah mengenal urgensi kesantunan layaknya legitimasi al-Qur’an. Mereka meloncat, dari yang semestinya berdakwah dengan kalam hikmah, kemudian mauidzah hasanah (nasehat baik), pada tradisi jidal (debat). Tak hanya itu, kata bid’ah, syirik, sampai kafir, demikian renyah meluncur dari mulut-mulut kelompok puritan ini. Padahal Imam Malik jauh-jauh hari sudah mengultimatum “Jika kau mendapati seorang muslim terjerembab dalam jurang kekufuran dari beberapa arah, namun ada kemungkinan dia masih mukmin, meski hanya dari satu sudut pandang. Maka jangan sekali-kali kau menuduhnya [telah] kafir”. Ungkapan ini kemudian dipopulerkan kembali oleh Muhammad Abduh sebagai reaksi atas menggugusnya fenomena takfir (saling mengkafirkan) di tubuh kaum muslimin. Wallahu a’lam.

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

Cari Artikel saya

Anda pengunjung ke