SELAMAT MEMBACA TULISAN SAYA, By Abdul Munim Cholil >>> Orang yang mencari "kecukupan duniawi" dengan cara mengumpulkan harta seperti memadamkan api dengan jerami (Bakr bin Abdullah), demikian statemen yang saya kutip dari kitab Ihya milik imam Al-Ghazali.

10/29/2010

thumbnail

Dari Kasus Sayyid Qutb Hingga Aksi Membakar Al-Qur’an Sedunia; Sinyal Keharusan Reinterpretasi Ayat Qitâl (Perang)

Aksi membakar al-Qur’an sedunia, demikian pemberitaan itu menghiasi media di seluruh dunia, pekan ini. Sebenarnya ini bukan yang pertama. Pada masa Islam primordial, kasus semacam ini sudah biasa dialami oleh Rasul saw. dan kaum Muslimin, dan terbukti mereka bisa keluar dari krisis ini. Apa yang diteriakkan kelompok fundamentalis Kristen di Florida, Amerika. adalah hal yang biasa-biasa saja. Al-Qur’an sempat mengabadikan kasus-kasus serupa saat sang Rasul dituduh “penyihir”, “pembohong”, “pemfitnah” dll. Bagaimana Rasul saw. menyikapinya? Di sini kita diajak untuk kembali membuka lembar-lembar sejarah.

Kelompok ini mengklaim bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci kaum Muslimin adalah sumber malapetaka yang mendoktrin pengikutnya untuk berbuat anarkis bahkan mengalirkan darah. “Islam agama kekerasan” tandas Terry Jones, pemimpin Dove World Outreach, yang bermarkas di Florida, AS itu.

Trauma yang tersisa sejak tragedi 11 September 2001 silam, yang menelan korban hampir 1000 orang lebih, sah-sah saja. Bahkan hampir seluruh masyarakat dunia turut mengutuk tragedi itu, termasuk kaum Muslimin sendiri. Tindakan ahumanis kelompok garis keras Islam itu sama sekali tak bisa disebut sebagai ajaran Islam, yang datang sebagai agama damai. Tindakan anarkis dengan melegitimasi ayat-ayat keagamaan seperti itu hanya bisa timbul dari interpretasi serampangan, dan tak bersandar pada akal sehat.

Ayat-ayat Qitâl (perang) yang termaktub dalam al-Qur’an sering disalah interpretasikan demi kepentingan individu maupun kelompok. Di sisi lain mereka seakan tak pernah membaca ayat-ayat Rahmah (kasih sayang) yang bertaburan di dalamnya.

Sejatinya Ada banyak faktor yang melatar belakangi tindakan anarkis semacam itu: di antaranya sosial, politik, atau psikis sang pelaku. Sayyid Qutb, seorang penulis Mesir yang banyak mengilhami kelompok fundamentalis Islam misalnya, sebelum dibui oleh pemerintah masa itu, terlihat biasa-biasa saja. Namun ketika pemerintah mengeluarkan surat penangkapan terhadap semua pemimpin Ikhwân al-Muslimin (IM), termasuk di dalamnya Sayyid Qutb. Seketika karya-karya Qutb yang ditulis di balik jeruji besi menjadi beringas dan menyeramkan. Karya-karya Qutb kemudian acapkali menjadi santapan kelompok radikal Islam untuk melegitimasi tindakan anarkis yang mereka lakukan.

Bercermin dari kasus diatas, bahwa tindakan anarkis sejatinya tak hadir dengan ‘keluguannya’. Ia didorong oleh faktor-faktor lain. Sesunggunya al-Qur’an yang multi tafsir itu adalah kitab suci yang mengajarkan kedamain, toleransi dan sederet etika agung pada pembacanya, sehingga mampu menciptakan tatanan kehidupan dunia yang ideal. Kalaupun ada beberapa ayat yang menyuruh untuk mengangkat senjata, itu hanya diperbolehkan dalam situasi tertentu (baca: darurat).

Ayat-ayat Qitâl tak bisa lepas dari konteks dan realitas yang melingkupinya. Teks-teks suci itu tak boleh tercerabut begitu saja dari “realitas” sebagai neraca untuk memahaminya. Apa yang kemudian dipahami secara ‘telanjang’ oleh kelompok fundamentalis Islam adalah ketololan. Teks tak hadir dengan lugu, ia hadir dalam dinamika tertentu.

Reaksi yang kemudian mengendap ke permukaan akhir-akhir ini merupakan sesuatu yang alamiah. Menurut penulis, aksi kaum Muslimin yang jauh dari nilai-nilai luhur agama dan humanisme, serta reaksi tak proporsional dari kelompok radikal agama lain, sama-sama tak bisa dibenarkan. Mestinya kita obyektif menyikapi krisis semacam ini secara kolektif. Menyalahkan agama tertentu bukan sikap yang tepat.

Kekerasan yang berdalih agama tak hanya terjadi dalam Islam, tapi hampir semua agama di dunia. Bahkan apa yang dipertontonkan oleh negara paling rasis, Israel, saat ini juga kerap melegitimasi pada teks-teks distorsif Talmud. Begitu pula misi perang Salib I & II yang pernah menghiasi penggalan sejarah peradaban manusia di abad pertengahan. Semua berusaha menjustifikasi naluri kolonial-barbar mereka pada masing-masing kitab sucinya.

Rasanya, rentetan kasus yang tak kunjung usai seperti yang kita saksikan melalui media adalah home work terberat, bukan hanya bagi kaum Muslimin tapi seluruh umat manusia. Penduduk dunia sudah gerah dengan lakon kekerasan yang dipertontonkan oleh kelompok superior pada kelompok inferior maupun sebaliknya sebagai reaksi dari ketertindasan.

Mari kita kembali pada ayat-ayat Qitâl. Perang dalam Islam diperbolehkan ketika kita merasa terancam atau diserang. Perang yang dikenal dalam Islam tak lebih dari sikap defensif (baik demi agama, harta dan harga diri). Sudah menjadi hukum alam bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam beberapa karakter, ada yang memiliki tabiat baik dan ada yang buruk. Seringkali eksistensi kita tak disenangi oleh sekelompok orang yang tak biasa menyaksikan perbedaan. Apa yang dianggapnya berbeda adalah salah, dan bukan tak mungkin akan menghantarkannya untuk berbuat lebih, anarki misalnya. Saat itulah sikap defensif menjadi keharusan.

Ayat Qitâl hanya boleh dipraktekkan dalam situasi tertentu. Ia hanya wasîlah (perantara/sarana) untuk menuju kedamaian abadi. Ingat perang bukan tujuan! Futûhât (penaklukan-penaklukan) Islam yang membentang sepanjang sejarah merupakan keputusan yang disepakati bersama: untuk menbebaskan rakyat negeri yang ditaklukkan dari kelaliman pemerintah sebelumnya, meski penulis tak menutup mata dari catatan sejarawan yang mengklaim bahwa Futûhât Islam memiliki tendensi politik. Namun tegasnya, penaklukan-penaklukan itu awalnya mempunyai misi suci sebagai upaya dekolonisasi dari pemerintah lalim dan otoriter sebelumnya. Terbukti, kaum Muslimin tak hanya mengeruk keuntungan dan memeras kekayaan dari negeri yang ditaklukkannya, tapi kemudian membangunnya sehingga bisa sampai pada puncak peradaban yang mengagumkan. Bedakan dengan motif imperialisme Barat!

Apa yang kemudian kita saksikan dari aksi-aksi teror kelompok ekstrimis yang mengangkangi nama Islam adalah sebuah sikap pecundang dari orang-orang yang haus darah, meminjam istilahnya Fahmi Huwaidi “tak mengenal bahasa selain bahasa kekerasan”. Selain kedangkalan pemahaman agamanya, ada semacam phobia-modernitas. Layaknya orang Badui yang tersesat di keramaian kota, gagap.

Islam adalah agama inklusif yang tak pernah menutup pintu dari setiap perubahan, termasuk modernisme. Sejarah mencatat bahwa Islam adalah agama yang selalu bisa berakselerasi dengan zaman. Bahkan moderenitas yang dicapai Barat saat sekarang ini banyak berhutang budi pada Islam. Perhatikan catatan obyektif Gustav Lobon berikut “Seandainya bukan karena Arab-Islam, Barat tak akan pernah menikmati kejayaannya.”

Bagi penulis, ayat Qitâl semakin menemukan momentumnya untuk tak lagi dipahami sebagai “perintah”—meski redaksi ayatnya memakai bentuk amr (perintah)-- ketika seluruh negara yang tergabung dalam PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) menandatangani konvensi penghapusan sistem perbudakan dan penjajahan dalam berbagai bentuknya pada 1-12-1949 M. Ayat Qitâl bisa kita pahami sebagai al-irsyâd (petunjuk). Hal ini bukan berarti mengenyampingkan perintah Tuhan yang termaktub dalam al-Qur’an, tapi lebih pada upaya kontekstualisasi al-Qur’an itu sendiri. Bukankah kita sepakat bahwa tak semua bentuk amr (perintah) yang ada dalam al-Qur’an bisa dimaknai sebagai perintah an sich.

Dimuat di majalah Afkar PCINU-Mesir edisi 55 dengan tema Islam Pasca Kolonial

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

Cari Artikel saya

Anda pengunjung ke