SELAMAT MEMBACA TULISAN SAYA, By Abdul Munim Cholil >>> Orang yang mencari "kecukupan duniawi" dengan cara mengumpulkan harta seperti memadamkan api dengan jerami (Bakr bin Abdullah), demikian statemen yang saya kutip dari kitab Ihya milik imam Al-Ghazali.

2/03/2021

thumbnail

Imam Fakhrudin Ar-Razi; Puncak Keemasan Mazhab Asy'ari

Putera seorang ulama sekaligus pengkhotbah dari Ray-Iran, memiliki 300 orang murid yang mengikutinya ke mana pun dan semuanya menjadi ulama, menulis karya-karya agung dalam semua disiplin ilmu yang ada di masanya hingga mencapai 200an, bahkan ada satu karyanya bisa berharga 500-1000 dinar di pasar, mempunyai 50 budak yang siap melayaninya; simbol kejayaan mazhab Asy'ari dalam ilmu kalam. Dia lah Imam Fakhruddin Ar-Razi,yang bergelar “al-Imam” dengan kesepakatan semua ulama Asya'irah.

Proses Belajar Imam Ar-Razi dan Ilmu Favoritnya

Semua kemegahan dan reputasi prestisius ini tak didapat dengan gratis hanya menyandarkan diri pada popularitas ayahnya. Ar-Razi yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Diya’uddin Umar bisa mencapai popularitas semacam itu karena kecintaannya pada ilmu dan keteguhannya dalam menjalani laku pencari ilmu yang tenggelam “saya merasa sangat berat hati bila waktu makan tiba, sebab kesibukanku dengan ilmu menjadi terganggu olehnya”, demikian pengakuan al-Imam.  

Artinya, Ar-Razi muda benar-benar mencintai dan tenggelam dalam ilmu. Sebelum mengajar ilmu kalam, dia mengaku “saya tak diijinkan mengajar ilmu kalam kecuali setelah berhasil menghafal 12.000 halaman”. Ilmu kalam memang menjadi favorit Ar-Razi dan angka yang disebut menegaskan betapa banyak kitab yang telah dihafal dan dikuasainya. 

Selain itu ilmu ushul fikih juga merupakan ilmu favorit Ar-Razi, dia menghafal karya agung Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa, dan seorang tokoh Muktazilah Abu Al-Husein Al-Bashri berjudul Al-Mu’tamad. Dua dari empat kitab inti dalam ushul fikih yang wajib dipelajari setiap pengkaji ushul fikih, menurut Ibn Khaldun dalam Mukaddimahnya. 

Imam Ar-Razi dan Kaum Sufi 

Setelah wafatnya sang ayah, Diya’udin Umar (559 H), Imam Ar-Razi di usianya yang ke 15 memperdalam lagi ilmu hikmah (filsafat) ke Al-Kamal As-Samnani (w. 575 H), kemudian ke Al-Majd Al-Jili (606 H) seorang faqih filsuf sekaligus sufi besar murid dari Abu Najib As-Sahrawardi (w. 563 H) dan Najmudin Kubra (w. 618 H). Dari Majd Al-Jili, Ar-Razi mengambil talqin zikir.

Kemudian Ar-Razi ditakdirkan berjumpa langsung dengan Najmudin Kubra (pendiri tarekat Kubrawiyah). Dalam perjumpaan itu terjadi dialog “apa yang disebut dengan ma’rifat kesufian (intuisi)?” tanya Ar-Razi.

“Anugerah yang menghunjam ke dalam hati dan tak bisa ditolak” jawab Najmudin Kubra.

“Bagaimana cara meraihnya?” lanjut Ar-Razi bertanya.

“Dengan cara meninggalkan semua popularitas yang kamu sandang saat ini” jawab Najmudin Kubra singkat. 

Ar-Razi menyahut “ini yang saya tidak sanggup”.

Benar, Ar-Razi belum bisa luruh dalam ajaran tasawuf gurunya. Tapi dalam ceramah, surat dan wasiat yang dikirim ke beberapa muridnya menyiratkan kesadaran dan penghayatan sufistiknya yang sangat mendalam. Ceramah-ceramahnya juga sanggup membuat pendengarnya meneteskan air mata.   

Ar-Razi dalam Pusaran Ilmu

Imam Ar-Razi adalah seorang ensiklopedis yang menguasai semua ilmu yang berkembang di masanya. Ini dibuktikan dengan cara menulis dalam semua ilmu yang ingin didalaminya, terkadang tidak hanya satu buku tapi beberapa buku, seperti karya dalam ilmu kalam yang mencapai 44 buku. 

Ar-Razi bukan sebagai pengkaji yang hanya mengutip pendapat ulama sebelumnya. Dia mengritik, menahqiq, mendebat, menutup celah ulama sebelumnya hingga mencapai orisinalitas karya yang mencengangkan. Dan kelak menjadi referensi wajib bagi pengkaji setelahnya. 

Tafsir Ar-Razi dan Kritik Ibn Taimiyah

Karya terbesarnya tentu adalah tafsir Mafatih Al-Ghaib, yang memuat semua ilmu yang dikuasai oleh penulisnya. Di dalamnya ada ilmu kalam, tasawuf, gramatika dan sastra arab, astronomi, psikologi, fisika, arsitektur, kimia. Karena di mukaddimahnya Ar-Razi menyadari bahwa Al-Qur’an adalah induk semua ilmu.  

Semua ulama, baik yang semasa maupun saat ini, memuji tafsir Mafatih Al-Ghaib kecuali Ibn Taimiyah yang dengan sinis mengejek “dalam tafsir Ar-Razi ada semua kecuali tafsir”. Sebuah pernyataan yang sangat subyektif karena memang Ibn Taimiyah merupakan simpatisan sekte Karamiyah, yang diserang habis-habisan dalam karya-karya Ar-Razi. 

Karamiyah adalah kelompok Mujassimah dan Musyabbihah yang meyakini bahwa Allah menyerupai makhluk punya anggota tubuh layaknya manusia.

Bahkan menurut Dr. Said Faudah, seorang ulama ahli ilmu kalam terdepan abad ini, menegaskan bahwa Ibn Taimiyah sempat mengkafirkan Ar-Razi dalam karyanya, Talbis Al-Jahmiyah. Ibn Taimiyah menuduh Ar-Razi dengan tuduhan keji: telah mengajak pembacanya menyembah selain Allah. Padahal Ibn Taimiyah belum membaca sumber primer buku yang dianggap memuat kesesatan itu, As-Sirr Al-Maktum.    

Pola-pola dangkal ala Ibn Taimiyah ini kemudian diikuti oleh para pengagumnya, Wahhabiyah masa kini. Meski sebenarnya Ibn Taimiyah menyerang hampir semua ulama Sunni dan yang bersebarangan dengannya tapi porsi untuk Imam Ar-Razi jauh lebih besar. Ibn Taimiyah lahir 60 tahun paska wafatnya Imam Ar-Razi 606 H. Jadi, dia sangat terperanjat dengan prestasi Ar-Razi dan reputasinya di kalangan ulama. 

Dari sini, bisa dibilang bahwa Imam Ar-Razi adalah seorang ulama besar yang lengkap dengan para pengritik sekaligus pecintanya. Semakin tinggi pohon maka semakin kencang pula angin menerjang. Ibn Taimiyah dan Al-Khuwansawi (seorang ulama Syiah) adalah musuh terdepan Imam Ar-Razi.

Tak hanya menulis, Ar-Razi juga melakukan perjalanan ilmiah ke negeri-negeri Transaxonia (ma wara’ an-nahr): mulai dari Bukhara (Uzbekistan), Samarkand (Uzbekistan), Khujand (Tajikistan), Banakith, Ghaznah (Afganistan), anak benua India dst. Di negeri-negeri itu, dia berdiskusi dan melakukan debat terbuka dengan para ulama, pakar ilmu kalam, filsuf dan para faqih. Semua didokumentasikan dalam karyanya, Munazarat Ma Wara’ An-Nahr. Dia sebenarnya juga ingin menuju ke Baghdad, ibu kota Abbasiyah, tapi tidak ditakdirkan. 

Dalam Munazarat, terkadang dia menyebut lawan diskusinya dengan “jahil” (bodoh) hingga sempat dipaksa meminta maaf. Dan itu dilakukan oleh Imam Ar-Razi. Semua kisah ini menggambarkan sosok Imam Ar-Razi yang ambisius namun juga rendah hati. Dengan perjalanan hidup semacam itu maka tak usah heran jika Imam Ar-Razi memiliki banyak penggemar sekaligus banyak sekali musuh. Konon semua santri Ar-Razi yang berjumlah 300 orang itu selalu menemani gurunya ke mana pun.   

Karya-karya Ar-Razi 

Imam Ar-Razi tak pernah menuliskan biografinya sendiri. Murid-muridnya juga tak ada yang menulis biografi gurunya. Sang imam lebih didominasi oleh pemikiran dan ide-ide jenius dalam karya-karyanya. Sehingga siapapun yang ingin mendekati Ar-Razi dan ingin memotret dirinya secara pribadi akan menemukan kesulitan.

Saat disebut nama Ar-Razi, maka yang terbayang adalah tafsir Mafatih Al-Ghaib yang 11 jilid, Mabahist Masyriqiyah yang 2 jilid, Al-Mathalib Al-Aliyah yang 5 jilid, Al-Mahshul yang 6 jilid, dst: dan semua karya Ar-Razi didominasi oleh ilmu ma’qulat (ilmu rasionalitas islam) sehingga pembacanya harus mengernyitkan dahi memeras otak. Ya, benar. Seakan Ar-Razi berkata pada kita dengan pongahnya “gak usah kenalan dengan saya. Baca karya-karya saya!”. 

Kekuatan tulisan Ar-Razi terdapat pada bangunan hujjahnya. Dia bisa menghadirkan puluhan argumentasi rasional hanya untuk meruntuhkan satu tema musuh. Banyak profesor ilmu kalam di Al-Azhar yang menyatakan bahwa “setelah filsafat dibabat oleh Al-Ghazali di timur Islam melalui kitab Tahafut Al-Falasifahnya, filsafat tidak mati namun mengalir dalam darah dan nadi ilmu kalam, terutama dalam karya-karya Ar-Razi”.     

Muhammad bin Ibrahim bin Said Al-Anshari (749 H) mencatat dalam Irsyad Al-Qasid Ila Asna Al-Maqashid bahwa karya Ar-Razi mencapai 400 buah dalam 60 disiplin ilmu, Tasy Kubra Zadah membengkakkan lagi, Ali Sami An-Nassyar dalam mukadimah tahqiq I’tiqad Firaq Al-Muslimin wa Al-Musyrikin hanya mencatat 96 karya. Sementara Thaha Jabir Al-Ulwani mencatat karya Ar-Razi mencapai 240 lebih. 

Karya-karya tersebut meliputi: tafsir, ilmu kalam, filsafat dan hikmah, gramatika dan sastra Arab, fikih dan ushul fikih, kedokteran dan psikologi, tasawuf, sejarah, arsitektur, astronomi, perbintangan, jimat dan ilmu lain yang belum dikategorisasi.

10/06/2020

thumbnail

Konsep Tawakal Syaikhona Khalil di Balik Perahu 'Sarimuna'

Setelah gencar berdakwah, Syaikhana berhasil membangun puluhan masjid di sepanjang kota Bangkalan hingga Sampang. Syaikhana juga membangun banyak pesantren yang kelak diwariskan pada anak-cucunya. Namun ada satu pesan simbolik penuh makna, yaitu Syaikhana juga sempat membuat sebuah perahu yang diberi nama Sarimuna yang hingga kini masih terjaga sebagai monumen di samping masjid yang dibangunnya di kawasan Telaga Biru-Bangkalan. Perahu ini menjadi pesan simbolik bahwa dakwah harus berjalan beriring dengan ekonomi yang stabil.

Murid adalah Presentasi Ajaran Guru-gurunya  

Syaikhana seakan sedang mempraktikkan doktrin salah satu gurunya, Sayid Ahmad Zaini Dahlan yang menulis dalam karya tasawufnya, Taqrīb al-Uṣul Li Tas-hīl Wuṣūl: di masa kini seorang guru (kiai-ustadz) semestinya memiliki kerja dan penghasilan (kasab) sendiri: tidak mempraktikkan maqam tajrīd. 

Karena para muhsinin (dermawan) masa sekarang, memberi dan menyantuni kiai dan ustadz dengan dua alasan: karena malu atau memberi dengan maksud merendahkan. Sangat sulit menemukan dermawan yang menyantuni orang berilmu dengan maksud menghormati ilmunya.

Seorang guru Syaikhana lainnya, Syeikh Nawawi Banten dalam Salalim Al-Fudhala’, malah menegaskan bahwa bekerja dan mencari kasab tak menghalangi sama sekali dari sifat tawakal. Seorang yang bekerja mencari penghidupan untuk diri dan keluarganya tetap bisa mencapai maqam tawakal selama pengharapan hatinya hanya digantungkan pada Allah.

Rasulullah Saw. bersabda “tawakal adalah hali (sikap dan kondisi hatiku) sementara iktisab (bekerja) adalah sunnati (ajaran dan warisanku).” Maka imam Al-Junaid mendefinisikan tawakal dengan “menggantungkan hati pada Allah.” Secara lahir seseorang bisa saja bekerja tapi hatinya selalu bersama Allah.    

Usaha atau Tajrid yang Afdal? 

Hanya saja ulama tasawuf berbeda pendapat tentang mana yang lebih afdal antara berikhtiar mencari rejeki atau tajrid (pasrah) dan menerima semua pembagian Allah. Keduanya sama-sama dibenarkan dalam ajaran tasawuf. Sebab sama-sama dipraktikkan oleh kaum salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.

Maqam tajrīd adalah kondisi yang dijalani seorang salik dengan tanpa melakukan usaha sama sekali. Dia melatih dirinya hanya menggantungkan dirinya pada Allah. Untuk menjalani tajrīd ada syarat dan ketentuan yang harus dijalani seseorang. Diantaranya dia tidak boleh mengeluh bila rejeki yang ditunggunya lambat; saat menerima pemberian seseorang, dia harus menyadari sepenuh hati bahwa semua itu dari Allah. 

Bagi yang sekiranya tak akan merasa kesal dengan takdir Allah tatkala mengalami kesulitan rejeki maka tajrīd lebih afdal, dengan catatan tak mengharap santunan manusia, karena situasi itu melatih dirinya bersabar dan mengendalikan nafsunya. 

Sebaliknya, bagi yang tidak mampu bersabar dan hanya akan membuatnya marah-marah dan mengharap pemberian orang lain, maka sebaiknya mencari kasab.

Jadi dibangunnya perahu Sarimuna bukan semata bagaimana menafsirkan sosok Syaikhana yang tidak hanya ahli agama dan memiliki perhatian pada sektor ekonomi umat. Tapi perahu Sarimuna merupakan kulminasi dari “konsep tawakal” yang diyakininya. 

Seorang murid adalah presentasi dari ajaran dan perilaku guru-gurunya. Sayid Ahmad Zaini Dahlan dan imam Nawawi Banten termasuk dua maha guru yang sangat dibanggakan oleh Syaikhana Khalil. Ini bisa dilihat dari tansmisi sanad keilmuan Syaikhana yang terhubung langsung ke dua tokoh inti tanah haram itu.

Konsep tawakal ini bisa dipotret dari perjalanan hidup Syaikhana yang semenjak belia sudah tidak menggantungkan hidupnya pada siapapun selain Allah. Ketika mondok di Pasuruan Syaikhana menjadi buruh tani, di Banyuwangi pemanjat pohon kelapa gurunya, di Mekkah menjadi penyalin naskah Alfiyah, saat pulang ke Madura menjadi penjaga malam di kantor kadipaten. Proses ini harus dipotret lebih jernih supaya pecinta dan pengagumnya bisa mengambil ibrah dari sosok agung ini. 

10/05/2020

thumbnail

Miniatur Akhirat atau Simbol Kapitalis?

Orang yang mencari "kecukupan duniawi" dengan (cara mengumpulkan) harta seperti memadamkan api dengan jerami (Bakr bin Abdullah), demikian statemen yang saya kutip dari kitab Ihya milik imam Al-Ghazali.

Akhir-akhir ini saya semakin merasa aneh dengan kondisi negeri Islam perdana ini. Seharusnya, seperti diilustrasikan Al-Ghazali, negeri ini menjadi tempat untuk bertafakkur dan mengingat akhirat. Setiap praktek ibadah haji atau umrah adalah miniatur dari perjalanan seorang hamba menuju alam terakhir setelah maut menjemput.

Alih-alih bisa berkontemplasi, negeri ini sudah menjelma menjadi negeri kapitalis nomer wahid se-timur tengah. Tak usah jauh-jauh ke luar tanah haram untuk menikmati fasilitas lux ala kehidupan modern, di depan masjid haram saja sudah menyuguhkan pemandangan kontras 180% dengan jejeran-jejeran hotel-hotel berbintang lengkap dengan mall tempat perbelanjaan.

Obrolan-obrolan penduduk yang mendiami Mekkah sudah bukan lagi ilmu, ibadah dan tetek bengeknya. Mereka sudah terbuai oleh perburuan kertas-kertas bergambar foto raja Fahad, raja Abdul Aziz, raja Su’ud dan raja lainnya. Uang real jauh lebih eksotik dari sekedar janji nabi “shalat satu rakaat di Masjid Haram sama dengan 100 ribu rakaat di tempat lain”.

Hati dan otak anda yang awalnya dibaluti rasa khusuk, dalam hitungan hari akan berubah menjadi es akibat menyaksikan fenomena di luar haram. Rumah Allah yang berdiri semenjak dunia diciptakan sulit untuk menggetarkan hati anda sebagaimana pandangan pertama. Entah, ini negeri apa? Kata orang ini negera “paling Islam” sejagat, terbukti dengan baliho super besar yang terpampang di pintu masuk kota haram, Mekkah, di sana tertulis “Non Muslim dilarang masuk”. Namun saat anda berjalan menyusuri perbelanjaan di depan haram anda akan dibuat tertawa dalam hati: aneh, non Muslim dilarang masuk tapi produk-produk terkenal dunia semacam Dior, Gucci, Giordano, Nike, dll akan segera menggoda anda. Mirip dengan gaya hidup Bin Laden yang anti-Barat tapi selalu menggendong klasnikov buatan Rusia itu.

Lebih miris jika anda membandingkan nama-nama gagah para raja dinasti Su'ud yang terpampang di setiap pintu masjid haram dengan jalanan dan gang sempit di kawasan Syarafiyah-Jeddah. Di sana nama-nama pembesar sahabat Nabi Saw. menghiasi setiap blok bangunan kumuh para warganya yang notabene penduduk asing, termasuk warga Indonesia.

Mulai dari para khatib masjid hingga pekerja media sibuk dengan memuji, mempublikasikan prestasi penguasa dan raja. Jarang ada yang berani mengkritik karena terancam akan dibui atau media akan dibredel. Jejaring sosial diawasi secara ketat sehingga warga Syiah yang mulai menggeliat memberontak dengan melakukan demo karena diperlakukan sebagai warga kelas dua hanya seperti suara sumbang.  

Para imam dan ulama Saudi terdepan dalam melabeli saudara Muslimnya yang dianggap tak sealiran sebagai pelaku bid'ah, fasik bahkan murtad dan kafir. Tapi lidah mereka akan kelu saat melihat kemesraan petinggi kerajaan dengan politikus Amerika dan negara-negara eropa pada umumnya. Terakhir, bagi para tetamu Allah yang mendapat kelebihan rejeki untuk melakukan perjalanan umroh atau haji non-wajib sebaiknya mempertimbangkan tetangga kalian yang kekurangan. Wallahu a'lam!
  

Jiyed-Mekah 29 Agustus 2012 








10/29/2010

thumbnail

Dari Kasus Sayyid Qutb Hingga Aksi Membakar Al-Qur’an Sedunia; Sinyal Keharusan Reinterpretasi Ayat Qitâl (Perang)

Aksi membakar al-Qur’an sedunia, demikian pemberitaan itu menghiasi media di seluruh dunia, pekan ini. Sebenarnya ini bukan yang pertama. Pada masa Islam primordial, kasus semacam ini sudah biasa dialami oleh Rasul saw. dan kaum Muslimin, dan terbukti mereka bisa keluar dari krisis ini. Apa yang diteriakkan kelompok fundamentalis Kristen di Florida, Amerika. adalah hal yang biasa-biasa saja. Al-Qur’an sempat mengabadikan kasus-kasus serupa saat sang Rasul dituduh “penyihir”, “pembohong”, “pemfitnah” dll. Bagaimana Rasul saw. menyikapinya? Di sini kita diajak untuk kembali membuka lembar-lembar sejarah.

Kelompok ini mengklaim bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci kaum Muslimin adalah sumber malapetaka yang mendoktrin pengikutnya untuk berbuat anarkis bahkan mengalirkan darah. “Islam agama kekerasan” tandas Terry Jones, pemimpin Dove World Outreach, yang bermarkas di Florida, AS itu.

Trauma yang tersisa sejak tragedi 11 September 2001 silam, yang menelan korban hampir 1000 orang lebih, sah-sah saja. Bahkan hampir seluruh masyarakat dunia turut mengutuk tragedi itu, termasuk kaum Muslimin sendiri. Tindakan ahumanis kelompok garis keras Islam itu sama sekali tak bisa disebut sebagai ajaran Islam, yang datang sebagai agama damai. Tindakan anarkis dengan melegitimasi ayat-ayat keagamaan seperti itu hanya bisa timbul dari interpretasi serampangan, dan tak bersandar pada akal sehat.

Ayat-ayat Qitâl (perang) yang termaktub dalam al-Qur’an sering disalah interpretasikan demi kepentingan individu maupun kelompok. Di sisi lain mereka seakan tak pernah membaca ayat-ayat Rahmah (kasih sayang) yang bertaburan di dalamnya.

Sejatinya Ada banyak faktor yang melatar belakangi tindakan anarkis semacam itu: di antaranya sosial, politik, atau psikis sang pelaku. Sayyid Qutb, seorang penulis Mesir yang banyak mengilhami kelompok fundamentalis Islam misalnya, sebelum dibui oleh pemerintah masa itu, terlihat biasa-biasa saja. Namun ketika pemerintah mengeluarkan surat penangkapan terhadap semua pemimpin Ikhwân al-Muslimin (IM), termasuk di dalamnya Sayyid Qutb. Seketika karya-karya Qutb yang ditulis di balik jeruji besi menjadi beringas dan menyeramkan. Karya-karya Qutb kemudian acapkali menjadi santapan kelompok radikal Islam untuk melegitimasi tindakan anarkis yang mereka lakukan.

Bercermin dari kasus diatas, bahwa tindakan anarkis sejatinya tak hadir dengan ‘keluguannya’. Ia didorong oleh faktor-faktor lain. Sesunggunya al-Qur’an yang multi tafsir itu adalah kitab suci yang mengajarkan kedamain, toleransi dan sederet etika agung pada pembacanya, sehingga mampu menciptakan tatanan kehidupan dunia yang ideal. Kalaupun ada beberapa ayat yang menyuruh untuk mengangkat senjata, itu hanya diperbolehkan dalam situasi tertentu (baca: darurat).

Ayat-ayat Qitâl tak bisa lepas dari konteks dan realitas yang melingkupinya. Teks-teks suci itu tak boleh tercerabut begitu saja dari “realitas” sebagai neraca untuk memahaminya. Apa yang kemudian dipahami secara ‘telanjang’ oleh kelompok fundamentalis Islam adalah ketololan. Teks tak hadir dengan lugu, ia hadir dalam dinamika tertentu.

Reaksi yang kemudian mengendap ke permukaan akhir-akhir ini merupakan sesuatu yang alamiah. Menurut penulis, aksi kaum Muslimin yang jauh dari nilai-nilai luhur agama dan humanisme, serta reaksi tak proporsional dari kelompok radikal agama lain, sama-sama tak bisa dibenarkan. Mestinya kita obyektif menyikapi krisis semacam ini secara kolektif. Menyalahkan agama tertentu bukan sikap yang tepat.

Kekerasan yang berdalih agama tak hanya terjadi dalam Islam, tapi hampir semua agama di dunia. Bahkan apa yang dipertontonkan oleh negara paling rasis, Israel, saat ini juga kerap melegitimasi pada teks-teks distorsif Talmud. Begitu pula misi perang Salib I & II yang pernah menghiasi penggalan sejarah peradaban manusia di abad pertengahan. Semua berusaha menjustifikasi naluri kolonial-barbar mereka pada masing-masing kitab sucinya.

Rasanya, rentetan kasus yang tak kunjung usai seperti yang kita saksikan melalui media adalah home work terberat, bukan hanya bagi kaum Muslimin tapi seluruh umat manusia. Penduduk dunia sudah gerah dengan lakon kekerasan yang dipertontonkan oleh kelompok superior pada kelompok inferior maupun sebaliknya sebagai reaksi dari ketertindasan.

Mari kita kembali pada ayat-ayat Qitâl. Perang dalam Islam diperbolehkan ketika kita merasa terancam atau diserang. Perang yang dikenal dalam Islam tak lebih dari sikap defensif (baik demi agama, harta dan harga diri). Sudah menjadi hukum alam bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam beberapa karakter, ada yang memiliki tabiat baik dan ada yang buruk. Seringkali eksistensi kita tak disenangi oleh sekelompok orang yang tak biasa menyaksikan perbedaan. Apa yang dianggapnya berbeda adalah salah, dan bukan tak mungkin akan menghantarkannya untuk berbuat lebih, anarki misalnya. Saat itulah sikap defensif menjadi keharusan.

Ayat Qitâl hanya boleh dipraktekkan dalam situasi tertentu. Ia hanya wasîlah (perantara/sarana) untuk menuju kedamaian abadi. Ingat perang bukan tujuan! Futûhât (penaklukan-penaklukan) Islam yang membentang sepanjang sejarah merupakan keputusan yang disepakati bersama: untuk menbebaskan rakyat negeri yang ditaklukkan dari kelaliman pemerintah sebelumnya, meski penulis tak menutup mata dari catatan sejarawan yang mengklaim bahwa Futûhât Islam memiliki tendensi politik. Namun tegasnya, penaklukan-penaklukan itu awalnya mempunyai misi suci sebagai upaya dekolonisasi dari pemerintah lalim dan otoriter sebelumnya. Terbukti, kaum Muslimin tak hanya mengeruk keuntungan dan memeras kekayaan dari negeri yang ditaklukkannya, tapi kemudian membangunnya sehingga bisa sampai pada puncak peradaban yang mengagumkan. Bedakan dengan motif imperialisme Barat!

Apa yang kemudian kita saksikan dari aksi-aksi teror kelompok ekstrimis yang mengangkangi nama Islam adalah sebuah sikap pecundang dari orang-orang yang haus darah, meminjam istilahnya Fahmi Huwaidi “tak mengenal bahasa selain bahasa kekerasan”. Selain kedangkalan pemahaman agamanya, ada semacam phobia-modernitas. Layaknya orang Badui yang tersesat di keramaian kota, gagap.

Islam adalah agama inklusif yang tak pernah menutup pintu dari setiap perubahan, termasuk modernisme. Sejarah mencatat bahwa Islam adalah agama yang selalu bisa berakselerasi dengan zaman. Bahkan moderenitas yang dicapai Barat saat sekarang ini banyak berhutang budi pada Islam. Perhatikan catatan obyektif Gustav Lobon berikut “Seandainya bukan karena Arab-Islam, Barat tak akan pernah menikmati kejayaannya.”

Bagi penulis, ayat Qitâl semakin menemukan momentumnya untuk tak lagi dipahami sebagai “perintah”—meski redaksi ayatnya memakai bentuk amr (perintah)-- ketika seluruh negara yang tergabung dalam PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) menandatangani konvensi penghapusan sistem perbudakan dan penjajahan dalam berbagai bentuknya pada 1-12-1949 M. Ayat Qitâl bisa kita pahami sebagai al-irsyâd (petunjuk). Hal ini bukan berarti mengenyampingkan perintah Tuhan yang termaktub dalam al-Qur’an, tapi lebih pada upaya kontekstualisasi al-Qur’an itu sendiri. Bukankah kita sepakat bahwa tak semua bentuk amr (perintah) yang ada dalam al-Qur’an bisa dimaknai sebagai perintah an sich.

Dimuat di majalah Afkar PCINU-Mesir edisi 55 dengan tema Islam Pasca Kolonial

8/28/2010

thumbnail

Purifikasi Agama; Sebuah ‘Laku Mengangkangi Agama’

Setiap kelompok yang muncul dari masa ke masa, sejatinya adalah reaksi untuk menjawab problematika kekinian” [Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya] Purifikasi agama sebuah terma menggiurkan, mendendang di telinga setiap muslim ghayyur (punya kepedulian lebih pada agamanya), dan membuat kita mengamini sebagai “misi suci”. Berawal dari asumsi “Islam yang terkontaminasi”, langkah purifikasi menjadi suatu keharusan. Di masa Ahmad Bin Hambal, persetubuhan Islam dan peradaban bangsa-bangsa adidaya masa lampau (Yunani, Persia, dan Romawi) mencapai titik yang mencengangkan. Filsafat sebagai produk Yunani telah demikian akrab dikaji oleh akademisi muslim kala itu. Islam sebagai agama yang inklusif, tak pernah menutup jendela peradabannya dari bangsa lain. Semenjak orasi nabi SAW “ Hikmah serupa harta temuan bagi setiap muslim, di mana dan kapanpun kalian temukan maka rengkuhlah” jendela itu masih [terus] terbuka lebar serta tak seorangpun berhak menutupnya. Al-Qur’an sendiri sebagai kitab suci umat ini, dengan cemerlang berhasil membuka mata bangsa Arab Badui yang kolot menjadi bangsa penakluk dengan misi damai. Kisah-kisah kejayaan umat masa lampau, baris-baris kata yang diarabisasi (musta’rab) dalam al-Qur’an, dll. secara tak langsung telah memancing bangsa Arab masa itu untuk berpetualang mencari tahu kebenaran kisah, maupun dari mana akar “kata asing” yang dimuat al-Qur’an. Namun kemudian akselerasi peradaban yang mengusung modernitas (setidaknya masa itu) ditengarai telah jauh bergeser dari Platform agama Islam awal. Ahmad Bin Hambal, raksasa ilmuwan Islam abad II, merasa terpanggil untuk mengambil sikap tegas guna purifikasi agama dari hal-hal bid’ah. Kemudian Ibnu Hambal mendapat perlakuan tak semena-mena dari penguasa Abbasiyah yang mendaulat ideologi Muktazilah sebagai ideologi resmi Negara. Konspirasi tokoh-tokoh Muktazilah dan penguasa masa itu mendakwa sekte lain, yang dirasa berseberangan dengan ideologi negara untuk diberangus. Ibnu Hambal bersikukuh bahwa al-Qur’an itu qadim (tak berawal karena kalam Allah), bukan hadist (baru) seperti yang diimani oleh negara masa itu, meski konsekwensinya ia harus dibui. Saat sejarah ‘dengan ringan membalik tangan’ dan Mutawakkil diangkat sebagai khalifah, kini giliran pengikut Sunni yang mendapat angin untuk melestarikan ajarannya. Muktazilahpun mendapat getahnya. Karya-karya spektakuler mereka diberangus habis, hingga mungkin yang tersisa hanya dalam hitungan jari. Politik selalu membutuhkan landasan ideologi untuk memantapkan kebijakan kenegaraan. Maka tak heran kalau dari masa ke masa -sepanjang sejarah Islam yang membentang- ideologi menjadi semacam martir bagi kepentingan politik oknum yang haus kekuasaan. Pembenaran ideologis terkadang senyawa dengan kepentingan politik, sehingga tercipta keharmonisan dua unsur yang sejatinya berbeda: penguasa yang gila jabatan dan agamawan yang silau dengan ideologinya. Ada benarnya bila seorang sejarawan menulis “Sejarah selalu mengulangi dirinya”, meski realita dan konteksnya berbeda. Di masa kini, kita dipaksa menonton parodi kelompok ekstrimis Islam (Wahhabiyah) yang kembali berdalih dengan gerakan purifikasi agama telah ‘bertindak aneh’ terhadap saudaranya sesama muslim. Mereka adalah generasi ‘culun’ Islam yang sok tahu mengenai Islam. Bagi mereka, Islam hanya tampil dalam satu wajah; Islam kita. Sementara yang lain, adalah bid’ah, syirik, bahkan kafir. Kelompok ini diidentifikasi kuat berafiliasi pada faham-faham konstruktif yang diusung Ibnu Taimiyah. Meski ketika ditelusuri lebih jauh, terkesan mencopot konstruks yang dibangun Ibnu Taimiyah secara parsial, sehingga bisa dibilang “Faham Taimiyah yang tak utuh”. Hal itu wajar saja, mengingat sosok Muhammad Bin Abdul Wahhab, sebagai pendiri Wahhabisme modern, sempat mendapat kontrak politik bersama King Saud, penguasa Nejd (Saudi Arabia). Setelah ditemukan sumber minyak terbesar dunia di Saudi Arabia. Negara yang awalnya hanya dihuni kabilah-kabilah yang bertebaran di gurun sahara semenanjung Arabia, kini menjelma menjadi salah satu negara terkaya dunia dengan petro dollarnya. Wahhabiyah seperti kejatuhan durian, mereka menjadi semakin bergairah melancarkan praktek-praktek keagamaannya. Bahkan ‘arabisasi Islam’ yang mereka usung mendapat respon yang cukup massif dari kalangan muslim abangan. Dengan dana melimpah dan gerakan terorganisir rapih, Wahhabisme pelan tapi pasti, sanggup bernyanyi merdu di tengah kegamangan umat muslim yang nyinyir menyaksikan dunia yang semakin hedonis. Jargon “purifikasi Islam” menjadi alternatif paling menggiurkan bagi mereka yang emoh mendalami Islam secara utuh. Konsep ketuhanan (tauhid) diacak-acak, sehingga di tangan Wahhabiyah serupa film kartun yang disukai anak-anak, remaja, dan orang tua. Asal tahu saja, di masa lalu kajian tauhid merupakan kajian yang sangat bergengsi dan menjadi salah satu ikon kematangan berpikir intelektual muslim. Namun sekarang, tauhid menjadi begitu mudah dan dangkal. Motif tampilnya Wahhabiyah, bagi penulis, merupakan bentuk pendangkalan agama itu sendiri. Selain purifikasi agama yang mereka tawarkan sebagai trademark (merek dagang), ada juga syahwat menghidupkan kembali tradisi berijtihad. Memang hampir semua muslim meyakini bahwa pintu ijtihad masih terbuka, dan setiap intelektual muslim selalu dituntut berkreasi sehingga sanggup menghadirkan Islam yang lebih dialogis dan ramah terhadap lingkungannya. Namun ‘fatwa serampangan’ yang didengungkan Nashiruddin al-Albani, seorang pendiri sempalan dari Wahhabiyah yang juga memiliki banyak pengikut, bahwa bertaklid pada Imam-imam madzhab merupakan tindakan bid’ah yang dilarang oleh agama, telah menimbulkan gejolak di kalangan umat Islam itu sendiri. Setidaknya, pengikut al-Albani akan mengklaim bahwa umat Islam sejak masa Imam Malik, Hanafi, Syafii, dan Hambali hingga kemunculan al-Albani, telah terjerumus dalam perilaku salah dan tak satupun dari jutaan umat Islam itu menyadarinya, absurd. Anehnya, tradisi ijtihad yang mereka koar-koarkan itu kembali hadir dalam satu peran antagonis; kebenaran hanya ada pada Imam-imam kami, yang lain salah. Terbukti, tak seorangpun dari pengikut Wahhabiyah yang berani mengkritisi [secara terbuka] Imamnya. Ini dilematis, dari satu sisi mereka menuduh pengikut madzhab sebagai pelaku bid’ah karena taklid dan di sisi lain mereka membebek murni pada Imam-imamnya. Ibarat pepatah Arab bilang “Membumi hanguskan seluruh kota untuk membangun sebuah istana.” sebuah sikap irasional. Konsep ijtihad ala Wahhabiyah juga masih ambigu. Kita lihat, meski motif kemunculan Muhammad Bin Abdul Wahhab dinilai sama dengan renaissance Muhammad Abduh di Mesir: purifikasi agama. Namun pisau analisis yang dipakai oleh kedua tokoh ini berbeda, bila Ibnu Abdul Wahhab selalu mengungkung pemahaman keagamaannya pada teks, maka Abduh lebih mengandalkan nalar logika. Hasilnya, yang pertama kaku, keras, dogmatis, pragmatis, dan statis, yang kedua lebih lentur, toleran, membaur dengan tradisi daerah, dan sanggup bersanding mesra dengan modernitas. Dalam memahami teks dibutuhkan analisa jernih sehingga tak terjerembab dalam ‘asumsi kosong’, karena teks tak selugu yang kita lihat. Sejatinya teks selalu berdialog dengan realitas sosio-kultural, sosio-politik, dan psikologi penulisnya. Ia tak sesederhana pembacaan awal kita, ia juga tak sekonyol idiom ‘cinta pada pandangan pertama’. Namun Wahhabiyah dengan misi pendangkalan agamanya, telah mencerabut teks dari konteks. Wahhabiyah kemudian mengiming-imingi pembaca dengan “Inilah agama Islam sebagaimana nabi SAW dan para sahabatnya”. Apalagi dalam metode dakwah, Wahhabiyah seperti tak pernah mengenal urgensi kesantunan layaknya legitimasi al-Qur’an. Mereka meloncat, dari yang semestinya berdakwah dengan kalam hikmah, kemudian mauidzah hasanah (nasehat baik), pada tradisi jidal (debat). Tak hanya itu, kata bid’ah, syirik, sampai kafir, demikian renyah meluncur dari mulut-mulut kelompok puritan ini. Padahal Imam Malik jauh-jauh hari sudah mengultimatum “Jika kau mendapati seorang muslim terjerembab dalam jurang kekufuran dari beberapa arah, namun ada kemungkinan dia masih mukmin, meski hanya dari satu sudut pandang. Maka jangan sekali-kali kau menuduhnya [telah] kafir”. Ungkapan ini kemudian dipopulerkan kembali oleh Muhammad Abduh sebagai reaksi atas menggugusnya fenomena takfir (saling mengkafirkan) di tubuh kaum muslimin. Wallahu a’lam.

8/25/2010

thumbnail

Pesona Perpustakaan Islam Klasik

“Buku serupa penghibur yang tak akan datang saat kau sibuk. Tak suka basa-basi membuang waktu. Buku adalah kawan yang tak akan menyakitimu, kawan yang tak akan menipumu, kawan yang tak hanya memanfaatkanmu. Buku adalah penasehat tanpa melecehkanmu”. Demikian ungkap salah seorang cendikiawan muslim masa silam, Ahmad bin Ismâil. Di sini, penulis tak hendak mengajak pembaca bernostalgia dengan kemegahan peradaban Islam klasik semata. Namun lebih tertarik pada adagium raksasa pemikir Mesir, Abbas Mahmud Al-Akkâd, yang pernah menulis “Perpustakaan adalah simbol kemajuan peradaban sebuah bangsa”, sekaligus berharap bisa menginspirasi pembaca tentang urgensi kepustakaan dalam membentuk peradaban. Seperti yang kita pelajari semasa sekolah dasar, bangsa Sumeria (abad 6 SM) adalah bangsa pertama yang mengenal seni baca-tulis. Demikian pula seni mengumpulkan data, informasi, dan dokumen penting lainnya. Setidaknya penemuan arkeologi dari kota-kota kuno bangsa ini telah menegaskan bahwa bangsa Sumeria kerap mengabadikan catatan perundangan, teologi, sejarah, dan legenda pada lempengan batu liat, yang tersimpan rapi di salah satu kuil di Mesopotemia. Bahkan di perpustakaan Ashurbanipal saja terpendam lebih dari 30.000 tablet tanah liat. Dari Yunani kuno, kita dikenalkan pada beberapa pustakawan: diantaranya ada Polycrates, sang Raja tiran yang menjajah Athena. Selain Raja dia juga kolektor buku. Euripedes, sang penyair yang gila buku. Dan tentunya Aristoteles sendiri, sang Failasuf. Di Barat, perpustakaan pertama didirikan oleh Julius Cesar, kaisar Romawi, yang mengaku banyak terinspirasi oleh apa yang dia saksikan di Yunani dan Alexandria. Ia kemudian berinisiatif mendirikan beberapa pusat bacaan (perpustakaan), yang membentang di seantero negeri Romawi: mulai dari perpustakaan Porticus Octaviae -dekat teater Marcellus-, kuil Apollo Platinus, hingga Capitoline Hill. Konon, sikap Cesar ini adalah bentuk permintaan maafnya pada ratu Alexandria masa itu, Celeopatra: karena telah ceroboh membakar lebih dari 400.000 koleksi buku yang tersimpan di perpustakaan Alexandria, saat negeri itu ditaklukannya. Sementara Cina, sebagai salah satu bangsa tertua juga tak mau ketinggalan. Pada masa kekaisararan Qin (abad 3 SM), perpustakaan menjadi saksi kemegahan peradaban yang mereka bangun. Meski sistem klasifikasi buku, baru dipraktekkan oleh dinasti Han (abad 2 SM) yang datang setelahnya. Pada saat itu, katalog perpustakaan ditulis pada gulungan sutera yang disimpan dalam kantong terbuat dari kain sutera pula. Dalam sejarah Islam, kegemaran mengoleksi buku tak hanya menjangkiti kalangan borjuis dan penguasa, tapi juga rakyat jelata. Barangkali risalah Islam yang bermula dengan turunnya surat Iqra’ telah mengilhami khalifah dan rakyatnya untuk bersama menggemakan budaya baca. Sehingga mereka seperti ‘keranjingan’ untuk mengoleksi buku-buku, yang dianggapnya unik dan berkualitas tinggi. Bahkan ketika tentara Romawi berhasil diusir dari kawasan Kostantinopel dan sekitarnya, yang pertama kali dijadikan syarat pelepasan tawanan oleh khalifah masa itu adalah dengan barter buku-buku Yunani, yang selama ini hanya menghiasi ruang pribadi para raja atau tersimpan di rak-rak buku gereja. Perpustakaan Islam klasik bisa diklasifikasi dalam dua macam: pertama milik pribadi atau perorangan, kedua milik negara yang lazimnya didirikan bersebelahan dengan lembaga lainnya, semisal mesjid atau sekolah. Meski disebut milik pribadi tapi perpustakaan Islam masa itu bisa diakses layaknya fasilitas umum. Pustaka pribadi milik Ali bin Yahya bin Al-Munajjim yang berlokasi di perkampungan Karkur kawasan Baghdad misalnya, berhasil menjadi favorit pecinta ilmu yang datang dari seluruh penjuru negeri. Fenomena ini tak lepas dari pelayanan istimewa yang memanjakan pengunjung; selain dibebaskan membaca, menyunting, menyalin, pengunjung juga mendapat beasiswa dan fasilitas penginapan sehingga tak disibukkan dengan pekerjaan lain. Untuk perpustakaan umum, khalifah atau penguasa akan menunjuk seseorang untuk menjadi direktur perpustakaan (khâzin al-Maktabah), yang mengkoordinir kepala bagian tertentu. Sebab perpustakaan masa itu sudah cukup sistematis: di sana ada bagian percetakaan (dengan cara menyalin teks karena memang belum ada alat cetak), penjilidan untuk menjaga keutuhan buku, dan bahkan cleaning service sendiri. Setiap perpustakaan, baik besar maupun kecil, telah menyiapkan katalog lengkap yang memudahkan pengunjung untuk mengakses buku yang sedang diperlukannya. Mungkin yang paling mengesankan dari pelayanan pustaka era itu adalah fasilitas beasiswa yang sangat memanjakan pengunjung. Di masa kini, hampir tak dapat kita temui perpustakaan dengan fasilitas semacam itu. Perpustakaan Bait al-Hikmah Baghdad Di sini penulis hanya akan memotret perpustakaan terbesar yang melahirkan cendikiawan Muslim masa keemasan. Mungkin yang paling layak disebut pertama kali adalah Bait al-Hikmah di Baghdad, ibu kota daulah Abbasia. Ketika khalifah Al-Mansûr (170 H) berkuasa, manuskrip-manuskrip yang dikoleksinya sempat membuat sesak istana khalifah. Sampai kemudian keponakannya, Harun Al-Rasyid, naik tahta. Al-Rasyid-lah yang kemudian berinisiatif untuk mengeluarkan buku dan manuskrip dari dalam istana dan membangun perpustakaan yang bisa dinikmati oleh khalayak umum. Ia kemudian diberi nama Bait Al-Himah. Inilah perpustakaan pertama dan terbesar dalam sejarah bangsa Arab-Islam. Dalam Bait al-Hikmah, ada semacam stand khusus terjemah manuskrip kuno dari Yunani, Romawi, dan Persia. Megaproyek ini dikomandani oleh Yuhana bin Masawiyah, yang diprioritaskan untuk menterjemah teks-teks Suryani ke dalam bahasa Arab. Adapun teks-teks Persia yang mengupas tentang ilmu filsafat dan astronomi diterjemah oleh Abu Sahl al-Fadl bin Nubikht, sebagai penerus proyek Ibnu al-Muqaffa’. Saat al-Rasyid tutup umur, Al-Makmun putera beliau yang melanjutkan roda pemerintahannya, tak mau kalah untuk berkonstribusi mengembangkan Bait Al-Hikmah. Ia mengirim beberapa pakar ke Asia Tengah, India, Ethiopia, dan kawasan Kaukasus untuk mendapat tambahan koleksi perpustakaan negara. Konon, untuk terjemah dari Yunani ke Arab saja, pemerintah menghabiskan dana sekitar 300 ribu dinar. Perpustakaan Al-Azîz Billah Kairo Dinasti Fatimiyah yang berdiri di Kairo bisa dibilang sebagai sebuah negara otonomi Abbasiyah. Bahkan dianggap akan menggoyah eksistensi Abbasiyah di Baghdad. Tak hanya persaingan politik dan madzhab yang menghiasi perjalan dua dinasti Islam tersebut, tapi juga budaya dan pemikirannya. Meski secara historis, dinasti Fatimiyah relatif lebih muda 1 ½ abad dari Abbasiyah yang berdiri pada abad kedua, tapi kebijakan Fatimiyah tak kalah bersaing dari induknya. Perpustakaan ini didirikan oleh khalifah Al-Aziz Billah (365 H) setelah naik tahta menggantikan ayahandanya, Al-Mu’iz Lidinillah. Awalnya perpustakaan ini hanya berawal dari hobi baca sang khalifah, yang tak segan membelanjakan hartanya demi sebuah buku yang sedang diburu. Konon setiap kali khalifah Al-Aziz menemukan sebuah buku yang ‘menyihir’nya, dia akan segera menyuruh nussakh untuk menggandakan. Bahkan kitab al-Ainnya Al-Khalil Bin Ahmad saja digandakan sampai 30 eksemplar. Perpustakaan ini terus berkembang hingga koleksi buku yang ada mencapai jutaan. Menurut Dr. Musthafa al-Siba’i jumlah berkisar antara 1-2 juta kolesksi buku. Jangan dikira koleksi buku yang ada saat itu hanya sebagai ekspresi bangga diri dan persaingan politik semata layaknya masa dinasti Ustmaniyah, tapi khalifah Al-Aziz Billah benar-benar seorang penguasa yang memiliki perhatian khusus pada buku. Ibnu Khalkan bercerita bahwa sang khalifah kerap keluar masuk perpustakaan, mengawasi sendiri koleksi buku-bukunya, dan bahkan berjam-jam membaca dan mendiskusikannya pada para penasehat dan ilmuwan yang sengaja diundangnya ke Kairo. Perpustakaan Al-Zahra’ di Cordoba Spanyol Ketika dinasti Abbasiyah berhasil menggulingkan Umawiyah (132 H), di saat yang sama beberapa penguasa Umawiyah yang melarikan diri berhasil membuka dunia baru, Maroko-Spanyol. Diantara pemimpin Umawiyah yang paling fenomenal adalah Abdurrahman Al-Dâkhil. Semenjak Andalusia ditaklukkannya, para penguasa Umawiyah seperti ‘mendapat angin’ untuk mempertahankan eksistensinya, di Andalusia inilah mereka membangun peradaban baru. Masa keemasan Andalusia dapat disaksikan ketika khalifah VIII, Abdurrahman Al-Nâshir, naik tahta. Andalusia menjadi kiblat ilmu, seni, dan sastra dunia. Al-Nâshir menjadi sosok di balik kejayaan Andalusia, ia berhasil mendidik putera mahkotanya menjadi pribadi yang cinta ilmu. Al-Mustanshir, gelar itulah yang disematkan pada putera mahkota. Di masa kepemimpinan Al-Mustanshir, perpustakaan ini didirikan. Para pakar kepustakaanpun dikumpulkan dari seluruh penjuru negeri untuk mewujudakan pelayanan terbaik buat rakyatnya. Ada cerita menarik ketika Al-Mustanshir mendengar bahwa di Baghdad ada sebuah buku baru – tepatnya Al-Aghâni karya Al-Ashbihâni-, dengan serta merta ia mengirim 1000 dinar emas demi mendapat salinan nuskhah kitab Al-Aghâni tersebut. Saat itu pula buku tersebut bisa dinikmati di Andalusia sebelum warga Baghdad bisa menikmatinya. Ada yang membedakan tradisi perpustakaan di Timur (meliputi Baghdad, Kairo, dan sekitarnya) dan Barat (Spanyol, Maroko). Pertama jika di Baghdad menterjemahkan literatur kuno ke dalam bahasa Arab, maka di Còrdoba menterjemahkan teks-teks buku berbahasa Arab ke bahasa Latin. Kedua para ilmuwan muslim di Baghdad sibuk menyelami literatur-literatur klasik untuk memperkaya khazanah Islam, sementara di Còrdoba ‘melompat jauh’ untuk memperkenalkan literatur Arab-Islam pada bangsa Eropa, yang waktu itu masih mempelajari spirit modernitas ala Islam Còrdoba. Ketiga di Baghdad peran perempuan dalam dunia pustaka terpinggirkan, namun di Còrdoba cenderung lebih perduli jender: tercatat lebih dari 170 wanita bertugas sebagai penulis dan penterjemah di perpustakaan Al-Zahrâ. Pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab adalah: ke mana khazanah kekayaan Islam masa lalu itu? Setidaknya kita bisa mengungkap dua faktor untuk menjawabnya: Pertama faktor internal, di mana kaum muslimin masa itu sudah tak berdaya dan termakan oleh politik yang memecah belah. Sehingga syahwat kekuasaan lebih mendominasi, pendidikanpun terbengkalai: akibatnya koleksi buku di perpustakaan banyak tak terawat atau bahkan dijual murah dan covernya dibuat pelapis sendal. Kedua faktor eksternal, meliputi 1. Agresi Tar-tar yang membumi hanguskan Baghdad. Koleksi buku Bait Al-Hikmah banyak dibuang ke sungai Furat dan Tigris 2. Gelombang perang Salib yang berakhir dengan runtuhnya dinasti Umawiyah di Andalusia. Koleksi buku umat Islampun dihabisi, sehingga yang tersisa saat ini hanya beberapa koleksi di perpustakaan Escorial Madrid 3. Konflik antar madzhab; selain korban nyawa, karya-karya yang ditulis menurut ideologi masing-masing madzhab juga menjadi sasaran.

Cari Artikel saya

Anda pengunjung ke